Gamma menggeleng. Dengan pelan ia mengusap air matanya. Aku tahu, ia tak ingin membuatku sedih.
Jakarta, 20.00, Cilandak Town Square…
“Maksud lo apa, sih?!!!!,” teriak Nina meledak.
“Maksud gue?? Udah jelas kan semuanya, gue udah capek sama lo!!,” tantang Adit dengan suara yang tak kalah kerasnya.
“Kenapa sih, Lo Cuma bisa nyalahin gue, memangnya lo nggak pernah punya salah sama gue??!!! Asal lo tahu, gue juga udah bosen sama lo, tahu!!!!” ucap Nina tak mau kalah.
“Baik, sepertinya hubungan kita sudah nggak bisa dilanjutkan lagi, lebih baik kita putus!!!” ujar Adit mantap.
Kalimat Adit itu meluncur bagai bom waktu bagi Nina, kepalanya serasa ditimpa beban yang berat, lidahnya kelu, tubuhnya kaku.
Malam itu, berakhirlah jalinan kasih antara mereka.
Anyer, 06.00, Villa nomor 9…
Sejak malam itu, dunia serasa berhenti berputar bagi Nina. Dia benar-benar tidak menyangka, bagaimana mungkin ia yang gadis cantik jelita nan molek, popular, dan memikat, ketua tim cheerleaders sekolah, yang selama ini menjadi harta karun yang teramat berharga bagi kaum adam di sekolahnya, beberapa waktu yang lalu baru saja disakiti hatinya oleh mantan kekasihnya yang amat dikasihinya? Mungkin, ini merupakan hukum karma bagi Nina, karena selama ini, dia dikenal sebagai biang keladi yang membuat kaum adam tersakiti hatinya. Karena polahnya yang sering berganti-ganti lelaki sesering berganti pakaian. Namun, lain halnya dengan Adit, lelaki yang satu ini benar-benar berbeda untuk Nina. Dia adalah satu-satunya lelaki yang mampu membuat hati Nina bergetar setiap kali memandangnya, membuat darah di dalam tubuh Nina seakan mendidih apabila mendengar suaranya, dialah satu-satunya lelaki yang mampu membuat Nina terbelalak, di matanya nampak seorang pemuda yang tak cuma memiliki paras yang tampan tetapi juga berperawakan tinggi gagah, membuat hati Nina menjadi terkebat-kebit tak karena cinta.
Maka, disinilah Nina sekarang, di Villa milik orangtuanya di daerah anyer. Dengan maksud hati ingin menutup dan mengubur lembaran-lembaran kelam yang pernah dilaluinya bersama Adit.
Pagi itu, kala matahari masih bersinar temaram, udara masih sejuk dan lembab, samar-samar nyanyian kicau burung merdu terdengar, Nina beranjak dari villanya untuk berlari pagi yang memang sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging baginya. Ketika derap langkahnya melewati villa tetangganya, villa nomor 10, mendadak mata Nina terbelalak, di matanya nampak seorang pemuda yang tak cuma memiliki paras yang tampan tetapi juga berperawakan tinggi gagah, membuat hati Nina menjadi terkebat-kebit tak karuan. ”Hai,” sapanya sopan, “Namaku Dias, aku tinggal di sini, villa nomor 10. Kamu siapa?” tanyanya lembut.
“Eh... mm... N-namaku Ni-Nina, aku te-tetangga sebelah kamu,” jawab Nina gugup, saking masih terpesonanya karena ketampanan wajah Dias.
“Oh, kamu mau lari pagi, ya? Kita bareng aja, yuk!! Kebetulan aku juga mau lari pagi,” ajaknya.
Bersama-sama mereka berdua berlari pagi sambil mengobrol-ngobrol santai agar bisa mengenal satu sama lain lebih jauh.
“Kamu sedang berlibur di sini?,” tanya Dias.
“Oh iya,” jawab Nina.
“Sendirian?”
“Iya”
“Keluargamu di mana?”
“Sibuk, lagipula aku di sini memang sedang ingin mencari ketenangan, tidak masalah walau hanya sendirian,” jawab Nina, sekilas terlintas di otaknya bayangan Adit serta kenangan-kenangan indah yang pernah mereka lalui bersama.
“Aku juga sedang berlibur disini, villa nomor 10 itu memang milikku” ucap Dias tanpa ditanya.
“Sendirian juga?”
“Iya, tapi mungkin Rizky akan datang,”
“Rizky itu siapa,”
“Oh, dia itu… mmm… temanku, teman dekat, sangat dekat bahkan,” jawab Dias yang air mukanya mendadak menjadi senang, senyum-senyum kecil menghiasi wajahnya.
“Kapan dia akan datang?”
“Kurang tahu, tapi dia pasti datang,” kata Dias yang mendadak tersenyum-senyum sendiri.
“ Ngomong-ngomong, berapa lama kamu akan tinggal?”
“Mungkin seminggu. Kamu?”
“Aku juga akan tinggal selama seminggu disini,”
Anyer, 19.00, Seminggu kemudian, ruang tamu villa nomor 10…
Selama seminggu tinggal di villa, kehidupan Nina berubah total, dia tak lagi bersedih mengingat-ingat akan Adit dan masa lalunya. Sekarang pikirannya sedang sibuk memikirkan Dias, ketampanan wajahnya, kebaikan hatinya, kelembutan sikapnya…
Selama seminggu penuh mereka menetap di Anyer, Dias sangat baik dan perhatian pada Nina. Setiap hari mereka menghabiskan waktu bersama, jalan-jalan di pantai, menikmati panorama alam yang indah, mendengar desir ombak yang deras, berenang di laut dangkal, belajar surfing, hiking, makan malam bersama, dan berbagai macam hal mereka lalui bersama-sama. Tampaknya Dias sudah berhasil menyinggahi tempat teristimewa di hati Nina.
Malam ini, merupakan malam perpisahan mereka. Nina dan Dias berniat untuk mengadakan acara makan malam hanya untuk mereka berdua saja sebagai acara malam perpisahan bagi mereka.
Nina baru saja datang, Dias lalu menyambutnya…
“Hai Nin,” sapa Dias lembut.
“Hai juga,” kata Nina.
“Kamu tunggu aku disini dulu, ya! Aku mau nyiapin makan malamnya dulu,” ujar Dias.
“Oh, nggak apa-apa,”
“Maaf ya, aku tinggal dulu,”
Dias masuk kembali ke dapur, meninggalkan Nina sendirian di ruang tamu. Nina mulai bergerak melihat-lihat ruangan itu. Ruangan itu cukup besar, dengan warna jingga mencorak, cahaya lampu putih berpendar, hawa sejuk dialirkan oleh mesin pendingin ruangan, bau aroma therapy membelai hidung dengan lembut, bunyi detak jam dinding besar menusuk telinga. Di bagian depan ruang tamu itu tergeletak indah sebuah sofa besar yang amat mewah, yang membuat siapa pun menjadi nyaman dibuatnya. Bagian kiri ruangan itu dihinggapi oleh sebuah meja pendek yang panjang, yang dipergunakan Dias untuk memperlihatkan koleksi foto-fotonya. Di situ Nina melihat, semua foto yang bertengger mengabadikan gambar Dias dengan seorang lelaki, tampaknya mereka berdua sangat akrab. Perkataan Dias kembali memutar di pikirannya, mungkin lelaki yang ada di foto-foto itu adalah Rizky, sahabat Dias.
Nina beranjak menuju bagian kanan ruangan, di sana berdiri dengan anggun sebuah meja kerja ukuran sedang yang agak berdebu namun kesan mewah masih terpancar. Mata Nina terpaku pada sebuah buku yang tergeletak terdiam di tengah meja kayu tersebut. Jemarinya refleks meraih buku itu. Ternyata itu buku harian Dias.
Naluri keisengan Nina mendadak saja muncul, dibukanya buku harian Dias. Matanya terbelalak tak percaya seiring lembaran demi lembaran terbuka. Semakin dia membuka dan membaca buku itu, semakin pikirannya dihantui ketidakpercayaan, semakin mulutnya terbuka lebar tak pecaya, semakin hatinya bergetar. Nina sama sekali tidak menyangka bahwa Dias, yang tampan, yang gagah perkasa, yang baik hatinya, yang amat memesona, yang amat memikat, adalah seorang... gay!
No comments:
Post a Comment