Wednesday, 23 April 2014

Teru-teru bozu

“Itu lho, boneka putih, kecil, yang suka digantungin di jendela buat penangkal hujan” Hiro menjelaskan padaku
        Sudah seminggu ini hujan nggak pernah absen untuk berkunjung ke kotaku. Bahkan saking seringnya, rumahku jadi ikutan kebanjiran.  Mama jadi sibuk ngomel sejak tadi pagi karena sofa yang baru aja dibeli ikut-ikutan basah.  Untung aja kamarku ada di lantai dua jadi aku nggak perlu repot-repot ngungsiin barangku ke tempat yang lebih aman.
        “Milly, kok bengong aja? Bantuin aku ngangkat karpet mama ke pagar dong” Seruan kak Mimi membuyarkan lamunanku.  Aku segera bergegas membantunya, karena kalo nggak cepat-cepat dibantu, aku bisa kena semprot mama.
        “Coba kalo nggak hujan mulu, pasti nggak bakalan banjir” Sambil menggerutu, aku bantu mengangkat karpet.
        “Udah nggak usah ngeluh, kalo mama dengar, kamu bisa diomelin lho!”
        “Seandainya aja ada pawang hujan…”
        “Emang buaya pake pawang?” Kak Mimi tertawa mendengar perkataanku.  Dipikirnya aku bercanda, padahal aku benar-benar berharap…
***
        “Tumben ya semalam nggak hujan” Nadia berkata sambil meletakkan tasnya di meja. Nadia teman sebangkuku, anaknya ramah tapi centilnya minta ampun.
        “Percaya nggak percaya… itu karena Teru-teru bozu” Tiba-tiba aja Hiro yang duduk di sudut ruangan ikut-ikutan ngobrol.
        “Teru-teru bozu? Apaan tuh?” Aku bertanya penasaran.


     “Itu lho, boneka putih, kecil, yang suka digantungin di jendela buat penangkal hujan” Hiro menjelaskan padaku
        “Oooh yang seperti di film kartun ikyu san itu?”
        “Yup!”
        “Emang siapa yang make Teru-teru bozu?” Nadia ikut penasaran.
        “Semalam bokapku ngadain acara jamuan untuk teman-teman pengusahanya dari Jepang.  Makanya, biar semua tamunya pada datang, beliau pasang boneka teru-teru bozu biar nggak hujan”
        “Seampuh itu?”
        “Buktinya semalam nggak hujan!” Hiro mencoba meyakinkan aku dan Nadia.
        “Kan kebetulan doang!” Nadia berkata cuek
        “Terserah deh… kan percaya nggak percaya!”
        “Gimana kalo kita buktiin kebenarannya malam ini?” Tantangku sambil mengalihkan pandanganku ke arah langit yang mendung.
        “Siapa takut!” Hiro menerima tantanganku dan berjanji untuk menemaniku menggantung teru-teru bozu di jendela kamarku, sepulang sekolah nanti.


Boneka putih itu kini tergantung dengan sempurna di balkonku, melambai-lambai ditiup angin.  Sebenarnya boneka itu agak nyeramin juga, bahkan kak Mimi sempat bilang kalo boneka itu mirip pocong yang lagi gantung diri… hiiiii
        Aku menatap langit, hari sudah mulai gelap namun mendung masih menggantung dengan angkuh. Sepertinya teru-teru bozu nggak berhasil nangkal hujan malam ini.  Angin semakin kencang berhembus, membuatku terpaksa menutup pintu yang menghubungkan balkon dengan kamarku. Kulirik boneka teru-teru bozu yang bergerak terayun-ayun di luar. Kasihan… dia pasti kedinginan.
        Suara petir membangunkan aku dari tidurku, akhirnya hujan turun juga. Aku tersenyum puas. Si Hiro pasti kecewa berat karena bonekanya itu terbukti nggak manjur. Tapi, di mana boneka itu? Ia tidak lagi berada di tempatnya. Aku segera berlari menuju balkon, di tengah riak hujan kulihat teru-teru bozu tergeletak di taman. Mungkin angin yang kencang membuat tali pengikatnya putus. Tanpa sadar aku berlari keluar kamar menuju taman untuk mengambil boneka itu.
        “Teru-teru bozu ya?” seorang cowok menegurku dari balik pagar. Serentak aku menoleh, seorang cowok terseyum padaku di tengah derasnya hujan.  Mata sipitnya mengingatkan aku pada Jonathan Mulia si bintang Mirror.
        “Ngapain kamu di situ?” Aku bertanya sambil pasang kuda-kuda, kali aja dia punya niat jahat.
        “Nggak usah takut, aku nggak punya niat jahat kok.  Aku cuma mau nikmatin hujan, saat di mana aku bisa bebas dan berharap nemuin apa yang aku cari”
        “Nyari apa kamu? Duit? Di sini nggak nerima sumbangan!” Kataku ketus. Cowok itu tersenyum, diliriknya teru-teru bozu yang kupegang
        “Aku yang memutuskannya”
        “Apa?” Aku menatapnya tak mengerti
        “Aku yang mutusin tali pengikat teru-teru bozu-mu itu”
        “Kenapa?”

      “Karena aku pingin nikmatin hujan.  Aku pingin kelihatan kayak cowok cool yang tiba-tiba muncul di tengah derasnya hujan untuk menyelamatkan ceweknya”  Cowok itu tersenyum sambil mengedipkan matanya padaku
        “Kamu pikir ini sinetron?”
        “Aku bercanda”
        “Udah deh, sekarang kamu pulang aja. Terlalu lama main hujan-hujanan nggak baik buat kesehatan usus” aku berkata asal, cowok itu tertawa.
        “Dokter sableng!”
        “Siapa yang dokter sableng? Omonganku benar kok, kalo kamu terlalu lama hujan-hujanan apalagi tengah malam gini, kamu bisa sakit demam, nggak enak makan, nggak enak tidur, kan efeknya  ke usus juga”
        “Aku udah nggak takut dengan rasa sakit” Ia menggumam, sesaat kemudian ia melangkah pergi, aku mencoba mengejarnya, kubuka pintu pagar dan berteriak
        “Hei, mau ke mana?”
        “Pulang!”
        “ Namamu siapa? Tukeran nomer hp dong!” Teriakku, sayangnya cowok itu tak mendengarnya. Suara gemuruh hujan terlalu keras, aku saja hampir tak bisa mendengar suaraku sendiri. Tiba-tiba…
        “DUARRRRR!” Suara petir membuatku tersentak
        “Mama” Teriakku.


     “Ngapain sih pake keluar buat ngambil boneka itu? Pagi-pagi juga kan bisa” Kak Mimi berkata sambil ngompresin kepalaku.
        “Sst, kakak nggak usah ikut-ikutan ngomel! Aku udah dari tadi diomelin mama, jangan buat aku tambah sakit dong”
        “Makanya jangan baut ulah! Kalo kamu sakit kan kakak juga yang repot” Kak Mimi menepuk pipiku. Kakakku yang satu ini memang care, dia selalu saja mampu membuatku tenang, bahkan di saat sakit seperti ini.
        “Kak, tolong gantungin boneka ini lagi dong!” Kataku sambil memperlihatkan boneka teru-teru bozu pada Kak Mimi. Dia menatapku gemas,
        “Kamu kok nggak kapok-kapok? Kan kemarin udah terbukti kalo boneka itu nggak manjur buat nangkal hujan”
        “Kakakku sayang, kemaren bonekanya jatuh, makanya itu nggak membuktikan apa-apa”
        “Adekku sayang, hujan atau nggak… bukan boneka ini yang nentuin tapi TUHAN!”
        “Manusia kan bisa berupaya, Tuhan menentukan.  Aku berupaya melalui boneka ini, terkabul tidaknya liat aja nanti. Ya kak ya…”
        “Paling pinter deh ngelesnya. Ya udah, sini bonekanya” Aku menyerahkan boneka itu pada Kak Mimi. Tidak lama kemudian boneka itu sudah tergantung kembali di balkonku, terayun-ayun ke kiri… ke kanan mengikuti angin. Tiba-tiba aku teringat cowok yang aku jumpai semalam, cowok aneh itu pasti sedang terserang demam juga sepertiku.
        “Ayo, senyum-senyum sendiri, mikirin apa nih?” Tiba-tiba aja Nadia udah duduk di sampingku
        “Kamu kok kemari? Nggak sekolah?”
        “Yee, ini kan hari minggu dodol!” Nadia berkata gemas.  Aku cengengesan, benar juga!
        “Kayaknya si Hiro kalah nih, kenapa kemaren kita nggak pake taruhan aja ya” Ujar Nadia


      “Itu namanya judi! Ntar kena rahasia Illahi lho, TERPANGGANG DALAM KUBUR” Kataku sambil tertawa.  Kak Mimi yang pengertian segera keluar dari kamar dan menutup pintu pelan-pelan.
        “Tapi semalam boneka itu jatuh”
        “Kok bisa jatuh?”
        “Ada cowok yang mutusin talinya”
        “Yang bener aja, pake apa dia mutusin talinya? Balkonmu kan tinggi.  Lagian cowok yang mana sih?” Nadia semakin tidak mengerti.  Iya juga ya… kok aku nggak mikirin itu semalam? Mana bisa dia mutusin tali pengikat boneka ini dari bawah… kecuali dia manjat ke balkonku… tapi, apa mungkin?
        “Hei, kok malah ngelamun?” Nadia menepuk pipiku.
        “Nggak tau deh! Kata cowok itu, dia yang mutusin talinya biar dia bisa nikmatin hujan”
        “Cakep nggak?”
        “Cakep juga sih, face-nya oriental banget”
        “Pantesan kamu betah hujan-hujanan! Namanya siapa?”
        “Aku lupa nanya namanya, pas aku teriak buat nanya, dia udah jauh. Sialnya, petir nongol tiba-tiba. Pingsan deh aku! Untung mama dengar teriakanku” Aku bercerita pada Nadia, cewek itu ketawa terpingkal-pingkal.
        Sepanjang hari ini, langit sangat cerah. Matahari yang udah 10 hari nggak nongol-nongol akhirnya berbaik hati untuk tersenyum walaupun kadang-kadang bersembunyi di balik awan tipis. Semoga saja cuaca akan baik sampai nanti malam, karena aku sudah terlalu lama tidak melihat bintang, dan karena malam ini istimewa. Aku memang paling suka melihat bintang, makanya aku benci hujan… selain bisa membuat rumah kebanjiran, hujan juga menyembunyikan bintang.


       “Duarr” Lagi-lagi suara petir mengagetkanku, samar-samar aku melihat sekelebat bayangan di balkonku
        “Siapa itu?”
        “Sst… ini aku” Terdengar bisikan dari luar
        “Siapa?”
        “Rain”
        “Siapa?”
        “Aku cowok yang kemaren”
        “Kamu? Bagaimana kamu bisa naik ke atas?” Aku membuka pintu.
        “Manjat” Ia cengengesan
        “Semudah itu?”
        “Salahin arsitek bego yang merancang bangunan ini.  Pagar dan pilar besar itu bisa dipanjat siapa saja” Katanya
        “Arsiteknya Bapakku…” Aku marah.  Cowok itu kaget,
        “Ops… sorry
        “Mau mutusin tali pengikat boneka itu lagi?” Tanyaku pada cowok itu, ia mengangguk.
        “Tolong jangan malam ini” Aku memohon
        “Kenapa?”
        “Aku pingin lihat bintang”


   “Malam lain kan bisa” Cowok itu berkata cuek.
        “Tapi malam ini istimewa, malam ini ulang tahun papa dan aku pingin menyapanya” Kataku sambil menerawang.
        “Gitu aja repot! Bangunin aja papamu trus kasih ucapan selamat! Beres kan? Nggak perlu pake acara ngeliat bintang segala”
        “Nggak semudah itu, karena papa udah menjadi bintang” Ujarku sambil menatap bintang yang paling terang.  Cowok itu menatapku dengan tatapan heran,
        “Empat tahun lalu, papa didiagnosa menderita kanker hati… kami sekeluarga sangat terpukul.  Namun ketabahan papa selalu bisa menguatkan kami. Sebelum papa meninggal, ia sempat berpesan padaku agar nggak sedih karena aku masih bisa menemuinya kapan saja… Beliau akan menjadi bintang yang akan menyapaku tiap malam”
        “Itu kan dongeng anak-anak”
        “Saat papa meninggal, aku memang masih 11 taon… tapi sampai sekarang aku masih percaya karena bintang selalu mampu membuatku tenang”
        “Kalo gitu aku pergi dulu” Cowok itu berpamitan, aku mencoba menahannya.
        “Tunggu dulu!”
        “Ada apa lagi?”
        “Aku belum tahu namamu”
        “Panggil aja aku Rain”
        “Ngawur!”

     “Namaku Takeshi, tapi aku lebih suka dipanggil Rain” Katanya sambil menuruni balkonku dengan lincah. Pilar besar yang ada di bawah balkonku memang kelihatannya sangat mudah dipanjat, aku jadi penasaran untuk ikut mencobanya…
        “Hei apa yang kamu lakuin?”
        “Ngikutin kamu sekaligus buktiin ucapanmu”
        “Dasar cewek bego! Nanti kamu jatuh”
        “Aku nggak bego, dan aku nggak jatuh!” Kataku puas setelah nyampe di bawah.  Cowok itu tersenyum,
        “Aku suka hujan”
        “Karena apa?”
        “Karena hujan membuatku bahagia, lepas dari nenek sihir berseragam putih yang selalu aja rewel ngurusin obat dan makananku, bikin aku tambah sakit aja. Selain itu aku pingin mencari putri hujan”
        “Putri hujan? Memang ada? Ngawur! Tapi ngomong-ngomong kamu sakit apa?” Tiba-tiba aku jadi parno… jangan-jangan si Rain lagi sakit parah dan tinggal nunggu hari doang,
        “Ada deh!” Katanya sambil tersenyum
        “Sok misterius”
        “Gini aja, kamu jenguk aku besok…”
        “Di mana?”
        “Rumah sakit Budi Agung, paviliun Kenanga… kamar Satu” Katanya sambil berlari dan memanjat pagar.  Sepertinya dia benar-benar terlatih, bahaya kalau jadi maling!


Sepulang sekolah aku mengajak Nadia untuk menjenguk Rain. Cewek centil itu penasaran dengan cerita-ceritaku tentang Rain, si cowok hujan. Aku kaget ketika melihat Hiro keluar dari kamar yang aku tuju
        “Hiro? Ngapain kamu di sini?” Nadia berteriak, segera kubekap mulutnya,
        “Ini rumah sakit! Bukan Mal”
        “Ops, sorry… aku kelepasan” Nadia cengengesan
        “Kalian ngapain di sini?” Hiro balik nanya,
        “Mau jenguk teman, kamu ngapain di sini?”
        “Jagain sepupuku”
        “Di kamar ini?”
        “Yup!”
        “Namanya Takeshi?” Tanyaku,
        “Kok tau?”
        “Emang dia sakit apa?” Aku balik nanya,
        “Tuh anak kebanyakan makan yang pedes-pedes pas acara kemaren, jadi  kena usus buntu sama diare dan besok mau dioperasi” Ujar Hiro polos. Nadia tak bisa menahan tawanya. Rain, si cowok hujan nongol di balik pintu sambil cengengesan
        ‘Terus… Ngapain pake mutusin teru-teru bozu tengah malam? Hujan-hujanan lagi… nggak takut sakitnya tambah parah?” Aku bertanya pada Rain.


   “Kalo hujan, suster-suster pada malas ngecek pasien, aku bisa kabur deh. Tapi kemaren Si Hiro cerita kalo kamu masang teru-teru bozu, makanya kemaren aku nekat ke rumahmu buat mutusin tali penggantungnya… biar hujan turun! Untung aja aku jago climbing” Rain nyengir.  Dasar cowok iseng, aku menggerutu dalam hati.
        “Tapi aku bersyukur bisa ketemu kamu malam ini” Ujarnya lagi
        “Kenapa?” Tanyaku
        “Karena  ketika melihatmu, aku merasa sudah menemukan putri hujan yang aku cari selama ini”
        “Maksudmu?”
        “Maksudku, kamu mau nggak jadi pacarku?” Rain berlutut di depanku.  Aku memandangi Nadia dan Hiro yang berdiri melihatku sambil tersenyum,
        “Jawab dong Mil” Teriak Nadia.
        “Sst… Ini Rumah sakit, bego!”
        “Makanya cepetan jawab”


        “Iya deh, asal kamu nggak hujan-hujanan lagi” Jawabku. Rain tersenyum, pipinya memerah. Tiba-tiba terdengar suara aneh yang diikuti sama bau yang aneh juga.
        “Sorry tuan putri… Kayaknya pangeran mesti ke belakang” Rain ngacir ke WC sambil memegangi perutnya, Dasar cowok sableng!”

Oleh Rahmi Pratiwie




No comments: