Sejak obrolannya dengan Anya yang tidak tuntas itu, Ren jadi penasaran. Menghitung ketidaksetiaan Lufi tentu saja mustahil. Lufi rajin apel malam minggu. Mereka juga sering ketemu di sanggar lukis. Jadi mana mungkin Lufi sibuk lagi dengan ‘yang lain’ kecuali di kampus?
Segala maha karya Ilahi terbentang dalam penglihatan Ren dari jendela pesawat yang lima belas menit lalu lepas landas dari bandara Sepinggan. Awan putih berlapis-lapis, langit biru terkuak di sela-selanya, laut hijau membiru di bawah sana. Dengan buih-buih ombak yang saling berbenturan. Kapal-kapal lintas pulau, tongkang-tongkang pengangkut batu bara atau rig-rig perusahaan minyak asing semakin mengecil dan mulai menghilang. Menyisakan titik-titik hitam saat pesawat terus mendaki menuju ribuan kaki di atas permukaan laut.
Sayangnya segala keindahan yang terhampar itu, yang biasanya menggoda Ren untuk menghasilkan coretan-coretan draft lukisnya, kali ini tak mampu mengubah hati Ren yang tengah muram. Rasanya malas sekali untuk kembali ke Jakarta setelah berlibur dengan luka hati. Huhhh, mengingat kembali apa yang terjadi tiga minggu lalu membuat Ren kembali terpuruk, merasa kerdil, dan konyol.
Lufi jalan dengan cewek, itu biasa. Ia tidak mungkin mengubah sifat Lufi yang friendly-easy going-helpfulseperti membalikkan telapak tangan. Justru itulah sifat-sifat Lufi yang membuatnya tertarik dulu. Tak mungkin mengerangkeng Lufi untuk patuh mengikut ke mana pun Ren pergi atau meminta Lufi untuk tidak menengok kiri kanan jika sedang jalan bersamanya. Ah, setelah kejadian itu, masihkah ia menganggap Lufi sebagai pacar? Setelah kebebasan demi kebebasan yang ia berikan untuk Lufi, apa balasan yang diterima Ren?
“Baru kali ini gue nemuin cewek yang berjiwa besar seperti kamu, Ren. Cowokmu wara-wiri kesana kemari dengan WIL-WIL didiemin aja.”
“Apa maksudmu, Anya? Burung selalu punya insting untuk kembali ke kandang. Kenapa harus kuatir? Cinta Lufi hanya untuk gue. Sudah terbukti setahun ini bukan?” ujar Ren pada Anya, teman satu kosnya.
“Kalo maksudmu itu si Lufi. Gue no comment-lah. Lufi kan bukan burung!”
“Nya, itu perumpamaan tau! Lufi itu udah bosen pacar-pacaran gak karuan. Ia sudah sepakat untuk serius denganku kali ini."
“Jaman gene, kamu masih percaya sama janji gombal? Yang tahunan married aja bisa cerai apalagi yang… whatever-lah. Yang ngejalanin kan kamu, gue gak bisa terlalu ikut campur, soalnya….” Anya hanya menggantung jawabannya sambil keluar kamar.
Sejak obrolannya dengan Anya yang tidak tuntas itu, Ren jadi penasaran. Menghitung ketidaksetiaan Lufi tentu saja mustahil. Lufi rajin apel malam minggu. Mereka juga sering ketemu di sanggar lukis. Jadi mana mungkin Lufi sibuk lagi dengan ‘yang lain’ kecuali di kampus? Rasanya tidak juga. Bukankah sesekali mereka pun sering makan bareng di kantin.
“Aku nih udah bosen plarak-plirik cewek, Ren. Yang kucari sekarang calon istri, bukan cem-ceman. Cem-ceman itu cuma bisanya bikin bangkrut doang. Beda sama calon istri yang pasti lebih care sama urusan perduitan. Ya gak?”
“Jangan gombal di siang bolong ah,” cetus Ren, waktu itu.
“Terserah kamu mau bilang apa. Ini bukan gombal, tapi ungkapan rasa yang sebenarnya.”
Nah, itulah deret kalimat Lufi yang makin membuat Ren yakin kalau Lufi tidak bakal aneh-aneh saat melangkah bersamanya.
Kini…
Mega putih di luar laksana kanvas yang siap dilukis. Oh, bahkan tak perlu sibuk lagi untuk melukis karena kanvas itu tidak lagi kosong. Dengan jelas terpampang pemandangan Lufi yang tengah berpelukan dengan Diandra.
Ren merasa matanya basah. Untunglah dua penumpang di sampingnya tengah tidur pulas. Para pramugari juga sudah selesai membagikan air mineral dan roti barusan.
Setengah mati Ren merasa tubuhnya kejang dan aliran darahnya seperti berhenti mengalir. Kelas kosong dengan puluhan kursi dan dinding bercat krem itu seakan menjadi saksi bisu akan adanya sebuah dusta. Kebohongan yang pada akhirnya terkuak karena keadaan, bukan karena berita yang terbesit selalu di telinganya. Tiga jiwa seolah saling kait dan berkontroversi dalam diam mereka. Ren shock. Diandra Pias terlihat. Ren merasa jiwanya kering. Cinta yang selalu disiramnya dengan doa dan harapan tulus untuk selalu setia bersama Lufi perlahan menguap. Menciptakan serpihan kabut yang menghilang karena terik matahari.
Lufi? Cowok itu masih sempat tersenyum dan melambaikan tangan. Inikah Lufi-nya yang selalu care? Masihkan ada perasaan malu, bersalah atau sadar telah melukai hati Ren? Ren tidak melihat itu ada pada diri Lufi saat itu.
“Hai, Ren. Diandra ultah hari ini jadi aku….”
Ren tidak sempat mendengarkan kelanjutan omongan cowok itu. Ia sudah kadung melesat keluar kelas Lufi. Sepasang kaki yang letih membawanya ke taman untuk merenung dan introspeksi. Seharusnya ia tidak perlu datang mencari Lufi ke kelasnya hanya untuk sekedar memberi kejutan. Seharusnya Lufi tidak perlu memeluk Diandra sedemikian mesra di kelas yang kosong kalau cuma ingin mengucapkan selamat ulang tahun. Seharusnya mereka tidak perlu sampai setahun menapaki hari-hari yang katanya penuh cinta. Seharusnya ia percaya pada Anya yang selalu memberinya peringatan. Sebongkah bual yang amat besar terkuak!
Diremasnya kado yang terbungkus kertas bergambar hati. Isinya puisi. Tentang keteguhan cintanya untuk Lufi meskipun banyak selentingan miring yang terdengar. Pphuuh. Goblok sekali!
Untunglah Ren bisa segera melarikan diri pulang kampung. Rumah Bundanya di Balikpapan terasa amat nyaman ketimbang kemarin-kemarin. Ia bisa tidur sampai puas untuk melupakan hatinya yang retak-retak.
“Patah hati itu biasa, Ren. Percaya sama Bunda, dua tiga minggu lagi, kamu lupa sama Lufi. Apalagi kalau nanti kamu sibuk sama urusan kuliah dan lukis. Justru kalau kamu sudah pernah ngalami patah hati, kamu jadi lebih selektif memilih cowok. Jangan cuma lihat gantengnya saja. Lihat sikap sifatnya, hatinya. Tapi juga jangan jelek-jelek amat ya, Ren. Ha ha ha….”
“Ah, Bunda ini…”
“Lho, iya. Manusia itu diciptakan untuk berpasangan. Berarti sebenarnya jodoh kamu itu sudah ada, cuma siapa…? Itu yang kita belum tahu.”
Cara Bunda mengupas masalahnya membuat Ren sedikit terobati. Paling tidak selama menenangkan diri di sini, ia bisa kembali menikmati jalan-jalan ke pantai Melawai. Makan coto makassar di Pandansari atau menikmati sup singkong makanan khas disini. Sesekali ia mengunjungi teman-teman lamanya yang memilih kuliah di Samarinda. Not bad. Paling tidak saat ia pulang nanti, hatinya sudah lumayan pulih dari sebelumnya. Lagipula Balikpapan cukup ramah kali ini, matahari beberapa kali tersembunyi di balik naungan awan sehingga tidak menyengat bila bepergian. Hujan pun turun beberapa hari belakangan ini, menciptakan suasana yang teduh.
Dan dalam dua minggu itu Ren merasa ia lebih kuat. Apalagi ia sempat berjumpa Gema di mal. Saling kangen dalam jabat tangan yang erat.
Gema.
Mantan pacarnya sewaktu SMU.
“Kok ndak nunggu sampai selesai semesteran baru pulang, Ren? Mentang-mentang tiket Jakarta-Balikpapan sudah murah ya?” goda Gema.
“Murah mahal kan relatif, Gem. Kan ada yang sponsorin.”
“Lantas, dalam rangka apa kamu pulang kampung?”
“Aku lagi patah hati nih.” Dan entah mengapa, begitu mudahnya ia melontarkan segala uneg-unegnya pada Gema di food court. Seakan ia menemukan tempat yang paling tepat untuk memuntahkan segala kekecewaannya. Gema mengelus pundaknya. Lalu tangannya. Berusaha memberikan spirit yang memang amat diperlukan oleh Ren.
“Huh, aku kok jadi curhat begini sama kamu, Gem. Belum tentu kamu suka jadi konsultan orang frustasi kan?”
Gema memamerkan deretan gigi putihnya. Tawanya masih sama seperti dulu. “Seandainya saja kamu percaya sama hubungan jarak jauh, Ren….”
“Maksudmu?” Alis mata Ren bertaut dan tanpa diminta, ada rasa geletar tipis yang menyentuh permukaan hatinya.
“Yaahh… Kita putus karena lulus sekolah kan. Kamu berkeras hijrah ke Jakarta, sementara aku lebih milih Malang untuk meneruskan kuliah. Kalaupun itu terjadi, paling kita hanya bisa jumpa di libur semester.”
Kembali Ren merasa geletar tadi. Sulit dihalau karena kali ini lebih terasa. Apalagi Gema berbicara sambil menatap matanya. Tatap tulus itu tidak pernah bisa ditolaknya. Ya, mereka putus tanpa sebab apa-apa. Semua dikomunikasikan dengan baik. Hanya saja, pilihan Bunda yang realistis, membuat Ren bertekad untuk kuliah di ibu kota. Mereka putus karena Ren tidak menghendaki hubungan cinta jarak jauh yang banyak resikonya. Tapi… luka ini….
Dua hari bersama Gema sebelum kepulangannya ke Jakarta membuat hidup Ren lebih berwarna. Paling tidak, ia mulai bisa menghitung ulang segala kebaikan Gema yang masih belum berubah sampai sekarang. Gema memang tidak mengulang ucapan cintanya seperti dulu, namun dari genggaman tangannya, Ren tahu kalau Gema ingin menguatkannya untuk menghadapi hari esok di Jakarta. Ren biarkan itu mengalir seperti apa adanya.
“Ren, ini nomer hp-ku di Malang. Aku ndak tau apakah setelah kau sampai di Jakarta nanti kau akan ingat untuk mengontakku. Tapi siapa tahu, kau butuh teman untuk curhat? Aku setia untuk mendengarnya lho.”
Ren membaca tulisan tangan Gema sekarang. Tidak pernah rapi, sama seperti dulu. Tapi Ren sudah teramat hafal dengan lekuk-lekuknya.
Ia mengalihkan pandang ke luar jendela kembali. Mega-mega masih berarak. Masih berlapis-lapis tipis tebal. Namun kali ini Ren melihatnya dengan tatap yang berbeda. Kumpulan mega itu seakan mencetak wajah Gema dengan ketulusan hatinya. Semangat Gema seakan menular kepadanya. Ren tidak mau berharap terlalu muluk, meskipun ia mulai berdoa, semoga masih ada cinta di sana.
Dua puluh menit lagi, pesawat yang ditumpangi Ren akan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Ia lebih mantap untuk melangkah sekarang. Malah kalau boleh, Ren ingin cepat-cepat landing agar bisa segera mengaktifkan ponselnya. Mungkin Gema sudah siap untuk mendengar kisruh hatinya kali ini. Bukan. Bukan karena Lufi. Tetapi karena Gema sendiri.
Oleh Olga
No comments:
Post a Comment