Nana mencoba mengatur napas sambil terus memperhatikan keajaiban yang kini duduk beberapa meter di depannya itu. Dengan ragu ia melangkah dan bersiap menyapa Tio yang sudah tiga bulan ini selalu mengisi relung hatinya.
Aku yang lemah tanpamu, Aku yang rentan karena
Cinta yang tlah hilang darimu yang mampu menyanjungku
Selama mata terbuka, sampai jantung tak berdetak
Selama itu pun aku mampu tuk mengenangmu
Darimu kutemukan hidupku
Bagiku kaulah cinta sejatiku
Bila yang tertulis untukku adalah yang terbaik untukmu
Kan kujadikan kau kenangan yang terindah dalam hidupku
Namun takkan mudah bagiku meninggalkan jejak hidupku
Yang tlah terukir abadi sebagai kenangan yang terindah
¾”Kenangan Terindah” by SamsonS
“NANA!”
Mama menggedor pintu kamarku dengan agak kencang, mencoba mengalahkan suara musik rock yang sengaja kupasang keras-keras. Aku merengut dan membuka pintu yang terkunci.
“Kenapa, Ma?” tanyaku malas sambil menjulurkan kepala ke balik pintu.
Mama menerobos masuk dan mematikan CD-player di sudut ruangan. “Berisik amat, sih? Kuping kamu gak sakit ya?” omel mama.
Aku menekuk mukaku lebih dalam lagi. Yap, perfect! Nggak tau apa orang lagi bete berat? Ini malah ikutan diomelin, lagi! Urrggghh…
Mama mendelik melihat wajahku sambil geleng-geleng kepala. “Dari tadi Asti nelpon, tuh! Udah tujuh kali. Katanya HP kamu off yah?” mama memunguti bekas-bekas bungkus cokelat di atas meja, “Kenapa sih? Lagi berantem yah?”
Aku menghempaskan tubuh ke atas tempat tidur. “Apaan sih, Mama? Suka sok tau deh!”
Mama kembali geleng-geleng kepala. Ia duduk di sebelahku dan mengelus rambutku dengan penuh kasih. “Ya udah, kalau bete jangan kelamaan. Kamu sama Asti kan udah temenan selama tujuh tahun”
“Delapan,” koreksiku cepat.
“Ya, delapan tahun kan bukan waktu yang singkat. Memangnya apa sih masalahnya?” mama masih saja berusaha mengorek info dariku. Mungkin mama lagi cari bahan gosip kalau nanti telpon-telponan dengan Tante Ria, mamanya Asti. Ya, karena aku dan Asti sudah bersahabat sekian lama, mama dan Tante Ria pun jadi ikut temenan.
Aaahh… Sudahlah, aku lagi nggak mood untuk ngebahas tentang Asti. Malas. Jadi teringat akan kejadian itu…
Aku mendengus, membuat mama kembali geleng-geleng kepala, kali ini sambil menghela napas panjang. “Ya udah, mama mau nonton TV dulu,” katanya sambil beranjak, “Kamu kalau mau menyendiri dulu gak pa-pa, nanti kalau Asti telpon lagi, mama akan bilang kamu lagi tidur. Tapi inget, nyetel musiknya jangan kenceng-kenceng! Nanti mama diomelin sama tetangga.”
Aku mengunci pintu segera setelah mama keluar, kemudian merebahkan diriku di atas kasur. Ternyata bete itu capek juga. Bener kata Asti, marah itu perlu banyak energi… Duh! Tuh, kan, lagi-lagi kepikiran Asti! Udah, ah, bete!
Tadi sore, di sekolah…
Nana berjalan cepat menuju kelas, mencoba mencari Asti untuk mengajaknya pulang bareng. Rumahnya dan rumah Asti yang tidak terlalu jauh jaraknya membuat mereka selalu berangkat dan pulang bareng. Itu pulalah yang menjadi awal keakraban mereka delapan tahun yang lalu, saat mereka duduk di kelas empat SD. Nana dan Asti yang sekelas tidak sengaja ketemu di halte saat sedang menunggu bus. Semenjak itulah mereka jadi sering bersama, layaknya sepasang saudara kembar, meskipun wajah mereka tak terlalu mirip. Asti lebih cantik, namun Nana lebih pandai. Itu yang membuat mereka saling mengagumi satu sama lain.
Di depan kelas, Nana terpaku. Keadaan kelas memang lengang, namun di sebuah bangku di barisan depan duduklah Tio, si anak baru pindahan dari Bandung yang keren abis itu. Ia sedang duduk santai sambil mendengarkan CD dari discman dan membaca komik Kung Fu Boy. Nana merasa kaku. Tiba-tiba saja tangan dan kakinya jadi panas dingin dan jantungnya berdegup semakin kencang.
Tio memang keren abis! Rambutnya yang ikal kecokelatan dan agak gondrong membuatnya terlihat cute. Hidungnya mancung dengan bibir yang menyunggingkan senyum. Sesekali ia membetulkan letak kacamata yang membingkai mata indah dengan alis tebalnya. Benar-benar mirip Jude Law di film Closer. Ganteng.
Nana mencoba mengatur napas sambil terus memperhatikan keajaiban yang kini duduk beberapa meter di depannya itu. Dengan ragu ia melangkah dan bersiap menyapa Tio yang sudah tiga bulan ini selalu mengisi relung hatinya.
Namun, tiba-tiba, wajah Tio terangkat dan bibirnya menyunggingkan senyum, membuat Nana terpaku di tempatnya berdiri.
“Asti…” bisik Tio.
Nana bengong. Apa Tio yang salah ngomong atau telinganya yang salah dengar ya? Tadi rasanya Tio menyebutkan nama Asti.
“Sorry?” Nana masih berdiri kebingungan.
“Asti,” sekali lagi nama itu meluncur mulus dari bibir Tio. Semenjak Nana masih menatap Tio dengan bingung, sebelum akhirnya ia menyadari bahwa mata Tio tidak menatap ke arahnya. Tio menatap sesuatu, atau seseorang, di belakangnya. Spontan, Nana berbalik. Dan, ia menemukan Asti sedang berdiri mematung sambil tersenyum kikuk.
Sementara itu Tio membereskan barang-barangnya yang terserak di atas meja dan memanggul tas ranselnya ke arah Asti.
“Makasih CD-nya, ya, Non. Oya, Sabtu jadi nonton, kan?” tanya Tio.
Asti mengangguk pelan, “Insya Allah, jadi.”
Tio memamerkan senyum charming-nya sebelum melangkah ke luar kelas, meninggalkan Nana dan Asti berdua.
Nana memandang Asti tak percaya. Nggak mungkin! Selama tiga bulan ini Nana rutin curhat ke Asti bahwa dirinya jatuh cinta sama Tio, tapi… barusan ia baru saja memergoki Asti memberi sebuah CD kepada Tio dan janjian nge-date berdua. Hari Sabtu, pula, which means… malem Minggu! Damn!
Asti tersenyum polos dan menggandeng tangan Nana, “Pulang sekarang, Na?”
Nana menghempaskan tangan Asti dan menampar pipinya, sebelum menjauh pergi dengan wajah merah karena menahan amarah yang memuncak di ubun-ubunnya.
Keesokan harinya.
Nana melangkah kesal ke arah kelas. Tak seperti biasanya, pagi ini ia datang pagi-pagi sekali untuk menghindari kemungkinan bertemu Asti di halte. Suasana kelas masih lengang, Nana memanfaatkan waktu yang tersisa sebelum bel sekolah berbunyi untuk menyelesaikan PR fisikanya. Tadi malam ia terlalu penat untuk bisa mengerjakan PR. Lagipula kalau toh ia berusaha untuk mengerjakan, pikirannya pasti bakal langsung melayang ke bayangan Asti dan Tio yang lagi asyik berduaan. Jadi, percuma saja!
Lagi asyik mengerjakan PR, seseorang duduk di sebelahnya.
Nana tak terlalu memperhatikan karena ia terlalu sibuk mengerjakan PR-nya sesegera mungkin. Namun sapaan itu akhirnya menarik perhatiannya.
“Na, kamu nggak bareng Asti?”
Tubuh Nana mengejang. Tio. Tio yang ganteng dan mirip Jude Law itu lagi duduk di sebelahnya! Tapi kemudian ia segera tersadar, barusan Tio menanyakan Asti. Ya, Asti, si brengsek yang suka makan temen itu, bukan dirinya.
Nana menjawab malas, “Nggak, kenapa?”
Tio menyodorkan sebuah CD, “Ini CD punya Asti, gue nitip yah!”
Nana mengerutkan kening sambil melirik CD di atas mejanya, “Damien Rice?”
Tio mengangguk dengan semangat, “Iya, hari ini Yola, cewek gue, ultah. Makanya gue pinjem CD Asti untuk ngopi track Blower’s Daughter. Yola suka banget sama lagu itu.”
Nana mencoba menyerap semua pernyataan barusan. Wait... a girlfriend? Tio udah punya cewek? Siapa tadi… Yola? Lalu, kemarin… bukannya Tio jelas-jelas ngajak Asti nge-date?
“Tio,” Nana menahan Tio yang siap beranjak dari tempat duduknya, “Kemaren, kalau gak salah, lo ngomong soal nonton ya sama Asti?”
Tio mengangguk, “Yup. Itu loh, Sabtu ini kan anak-anak sekelas pada mau nonton bareng. Lo ikut juga kan?”
Nana hanya bisa melongo. Jadi…?!
Hari yang sama, jam istirahat.
Sebuah SMS masuk ke HP Nana.
“Na, Asti kecelakaan! Buruan ke RS. Gue tunggu! –Tiko”.
Nana langsung panik. Tanpa pikir panjang ia segera mengambil tasnya di atas meja dan melesat menuju rumah sakit.
Rumah sakit.
Sebuah tetes air mata jatuh membasahi pipi yang kaku dan memutih itu. Pipi yang sama yang telah Nana tampar kemarin sore.
Nana menutup mulutnya tak percaya, mencoba menahan teriakan histerisnya.
Perlahan, ia susuri wajah yang selama delapan tahun ini telah memancarkan kehangatan, senyum yang tulus, dan tawa ceria. Kini, wajah itu terlihat dingin. Begitu... tenang.
Nana mengusap rambut panjang Asti yang indah. Terdapat segumpal darah beku di sana, di atas sebuah jahitan panjang di dahi itu, namun Nana tak peduli. Ia memeluk tubuh itu untuk terakhir kalinya dan membisikkan kata maaf dalam tangis di telinga sahabatnya yang telah pergi untuk selamanya.
Tiko sedang berjalan menuju halte saat mendengar keributan itu. Seorang anak SMA terpelanting karena tertabrak bus ketika menyebrang sambil bengong, begitu kata warga sekitar. Kepalanya menabrak keras aspal, dahinya robek, dan ia pun meninggal seketika. Seorang bapak-bapak sempat mengatakan bahwa anak itu sempat menggumamkan sebuah nama. Nana.
Nana kembali terisak. Ia keluar dari kamar yang dingin itu dan merosotkan badannya di sebuah pilar.
Sayup terdengar sebuah lagu dari sebuah kamar tak jauh dari sana.
“Bila yang tertulis untukku adalah yang terbaik untukmu
Kan kujadikan kau kenangan yang terindah dalam hidupku
Namun takkan mudah bagiku meninggalkan jejak hidupku
Yang tlah terukir abadi sebagai kenangan yang terindah...”
Nana menutup matanya rapat, mencoba menghilangkan semua perasaan bersalah yang berkecamuk di hatinya.
Nana menangis lagi, kini dalam sunyi.
Kita memang tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi.
Kini, Nana hanya bisa meratap. Sahabat terbaiknya telah pergi meninggalkannya. Namun, ia akan tetap tinggal di dalam hati Nana sebagai sebuah kenangan yang terindah...
No comments:
Post a Comment