Tengku Amir Hamzah
Amir Hamzah dilahirkan 28 Februari 1911. Akhir hidup putra Melayu ini sangat tragis. Ia
tewas dihukum pancung bukan karena kesalahan yang dilakukannya. Ketika itu, pada
dini hari 3 Maret 1946, segerombolan pemuda yang mengatasnamakan rakyat, menculik
Amir dan keluarganya. Sekitar 16 hari setelah penculikan, mayat Bangsawan Melayu --
yang ditunjuk sebagai Wakil Pemerintah Republik Indonesia untuk Langkat-- ini
ditemukan di Kuala Bingei, beberapa puluh kilometer dari Binjai.
Pujangga berhati lembut itu korban Revolusi Sosial di Sumatra Timur. Keluarga kerajaan
menjadi sasaran anak-anak muda yang terprovokasi ideologi antar kelas itu. Mereka
dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Dalam buku berjudul Amir Hamzah, Raja Penyair
Pujangga Baru, menurut HB Jassin, di antara pemuda-pemuda yang berperan dalam Revolusi Sosial
tersebut, ada yang juga peminat sastra dan pengarang, yang mengenal Amir Hamzah sebagai penyair.
''Mungkin mereka merasa bersalah telah membiarkan atau tak mampu mencegah pembunuhan terjadi,'' tulis
Jassin. Pada 1975, Pemerintah Indonesia menganugerahi Amir Hamzah gelar Pahlawan Nasional.
Dijuluki HB Jassin sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Makamnya terletak di sebelah Masjid Raya Azizi,
Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara.
Beberapa Karyanya :
BERDIRI AKU
Berdiri aku di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur terkembang
Angin pulang menyeduk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas.
Benang raja mencelup ujung
Naik marak mengerak corak
Elang leka sayap tergulung
dimabuk wama berarak-arak.
Dalam rupa maha sempuma
Rindu-sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertentu tuju.
BUAH RINDU II
Datanglah engkau wahai maut
Lepaskan aku dan nestapa
Engkau lagi tempatku berpaut
Di waktu ini gelap gulita.
Kicau murai tiada merdu
Pada beta bujang Melayu
Himbau pungguk tiada merindu
Dalam telingaku seperti dahulu.
Tuan aduhai mega berarak
Yang melipud dewangga raya
Berhentilah tuan di atas teratak
Anak Langkat musyafir lata.
Sesa'at sekejap mata beta berpesan
Padamu tuan aduhai awan
Arah manatah tuan berjalan
Di negeri manatah tuan bertahan?
Sampaikan rinduku pada adinda
Bisikkan rayuanku pada juita
Liputi lututnya muda kencana
Serupa beta memeluk dia.
Ibu, konon jauh tanah Selindung
Tempat gadis duduk berjuntai
Bonda hajat hati memeluk gunung
apatah daya tangan ta' sampai.
Elang, Rajawali burung angkasa
Turunlah tuan barang sementara
Beta bertanya sepatah kata
Adakah tuan melihat adinda?
Mega telahku sapa
Margasatwa telahku tanya
Maut telahku puja
Tetapi adinda manatah dia !
DOA
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah
menghalaukan panas payah
terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa menayang pikir,
membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyiarkan kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar
bersinar mataku sendu, biar berbinar
gelakku rayu!
HANYA SATU
Timbul niat dalam kalbumu.
Terbang hujan, ungkai badai
Terendam karam
Runtuh ripuk tamanmu rampak
Manusia kecil lintang pukang
Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba
Terika riuh redam terbelam
Dalam gagap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
Terapung naik Jung bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Bebas lepas lelang lapang
Di tengah gelisah, swara sentosa
Bersemayam sempana di jemala gembala
Juriat julita bapaku iberahim
Keturunan intan dua cahaya
Pancaran putera berlainan bunda
Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah langsung melewat abad
Aduh kekasihku
padaku semua tiada berguna
Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa dikau dekat rapat
Serpa musa di puncak tursina.
PADAMU JUA
Habis kikis
Segera cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu - bukan giliranku
Matahari - bukan kawanku.
HANYUT AKU
Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati,
tiada air menolak ngelak.
Dahagaku kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku
sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam.
Tenggelam dalam malam.
air diatas mendidih keras.
Bumi dibawah menolak keatas.
Mati aku, kekasihku, mati aku!
SUBUH
Kalau subuh kedengaran tabĂș
Semua sepi sunyi sekali
Bulan seorang tertawa terang
Bintang mutiara bermain cahaya
Terjaga aku tersentak duduk
Terdengar irama panggilan jaya
Naik gembira meremang roma
Terlihat panji terkibar dimuka.
Seketika teralpa;
Masuk bisik hembusan setan
Meredakan darah deber gemuruh
Menjatuhkan kelopak mata terbuka
Terbaring badanku tiada berkuasa
Tertutup mataku berat semata
Terbuka layar gelanggang angan
Terulik hatiku didalam kelam.
Tetapi hatiku, hatiku kecil
Tiada terlayang di awang dendang
Menangis ia bersuara seni
Ibadah panji tiada terdiri.
DOA POYANGKU
Poyangku rata meminta sama
Semoga sekali aku berdiri
memetik kecapi, kecapi firdausi
menampar rebana, rebana swarga
poyangku rata semua semata
penabuh bunyian turun –temurun
leka mereka karena suara
suara sunyi suling keramat
kini rebana di celah jariku
tari tamparku membangkit rindu
kucoba serentak genta gendering
memuji kekasihku di mercu lagu
aduh, kasih hatiku saying
alahai hatiku tiada bahagia
jari menari doa semata
tapi hatiku bercabang dua.
Insyaf
Segala kupinta tiada kauberi
Segala kutanya tiada kau sahuti
Butalah aku terdiri sendiri
Penuntun tiada memimpin jari
Maju mundur tiada berdaya
Sempit bumi dunia maya
Runtuh ripuk astana cuaca
Kureka gembira di lapangan dad
Buta tuli bisu kelu
Tertahan aku dimuka dewala
Tertegun aku di jalan buntu
Tertebas putus sutera sempana
Besar benar salah arahku
Hampir tertahan tumpah berkahmu
Hampir tertutup pintu restu
Gapura rahasia jalan bertemu
Insyaf diriku dera durhaka
Gugur tersungkur merenang mata:
Samar terdengar suwara suwarni
Sapur melipur merindu temu
Astana rela
Tiada bersua dalam dunia
Tiada mengapa hatiku sayang
Tiada dunia tempat selama
Layangkan angan meninggi awan
Jangan percaya hembusan dnia
Tilikan tajam mata kepala
Sungkumkan sujud hati sanubari
Mula segala tiada ada
Pertengahan masa kita bersua
Ketika cinta tiga bercerai ramai
Di waktu tertentu berpandang terang
Kalau kekasihmu hasratkan dikau
Restu sempana memangku daku
Tiba masa kita berdua
Berkaca bahagia di aiar mengalir
Bersama kita mematah buah
Sempana kerja dimuka dunia
Bunga cerca melayu lipu
Hanya bahagia tersenyum harum
Disitu baru kita berdua
Sama merasa, sama membaca
Tulisan cuaca rangkaian mutiara
Di Mahkota gapura astana rela.
Didalam kelam
Kembali lagi marak-sumarak
Jilat melonjak api penyuci
Dalam hatiku tumbuh jahanam
Terbuka neraka di lapangan swarga
Api melambai melengkung lurus
Merunta ria melidah belah
Menghangus debu mengitam belam
Buah tenaga bunga swarga
Hati firdusi segera sentosa
Murtad merentak melaut topan
Naik kabut mengarang awan
Menghalang cuaca nokta utama
berjalan aku didalam kelam
Terus lurus modal berhenti
Jantung dilebur dalam jahanam
Kerongkong hangus kering peteri
meminta aku kekasihku sayang:
Turunkan hujan embun rahmatmu
Biar padam api pembelian
Semoga pulih pokok percayaku
Ibuku Dehulu
Ibuku dehulu marah padaku
Dia ia tiada berkata
Akupun lalu merajuk pilu
Tiada perduli apa terjadi
Matanya terus mengawas daku
Walaupun bibirnya tiada berdera
Mukanya masam menahan sedan
Hatinya pedih karena lakuku
Terus aku berkesal hati
menurutkan setan mengacau-balau
Jurang celaka terpandang dimuka
Kusongsong juga-biar cedera
Bangkit ibu dipegangnya aku
Dirangkumnya serta dikuncupnya serta
Dahiku berapi pancaran neraka
Sejak sentosa turun ke kalbu
Demikian engkau : Ibu, bapa, kekasih pula
Berpadu dalam dirimu
Mengawas daku dalam dunia
Panji di Hadapanku
Kau kibarkan panji di hadapanku
HIjau jernih di ampu tongkat mutu
mutiara.
Dikananku berjalan, mengiring perlahan,
ridlamu rata, dua sebaya, putih, puitih,
penuh melimpah, kasih persih.
Gelap-gelap kami berempat, menunggununggu,
mendengar-dengar
suara sayang, panggilan-panjang, jatuhterjatuh,
melayang-layang.
Gelap-gelap kami berempat, meminta-minta,
memohon-mohon,
moga terbuka selimut kabut, pembungkus
halus
nokta utama
Jika nokta terbuk-raya
Jika kabut tersingkap semua
Cahaya ridla mengilau kedalam
Nur rindu memancar keluar.
No comments:
Post a Comment