“Ayo Boy! Aku yakin kau sedang pedekate atau sudah lewat masa itu? Jangan-jangan gadis itu sudah resmi jadi pacarmu.”
Awalnya langit sangat terang, mendadak mendung menyelimuti bumi tempatku berpijak. Kupercepat langkah. Angin menderu kencang, ada apa ini, hiruk pikuk terasa di sepanjang jalan. Semua pengemudi kendaraan menambah kecepatan, membuat situasi lalu lintas semakin semrawut. Tujuanku satu, halte kampus.
Sesampainya di halte, saat itu pula langit mencurahkan air ke bumi. Hujan yang sangat deras, angin yang bertiup kencang, membuat bangku tempat duduk di halte basah oleh curahan air yang terbawa angin. Aku merapatkan jaketku.
Halte tak begitu ramai. Para penumpang beberapa detik lalu telah masuk ke angkutan kota dan meninggalkan tempat itu. Para calon penumpang banyak yang terjebak dan memilih berteduh di kantin-kantin pinggir jalan di seberang halte. Mereka kalah cepat dengan hujan.
Hanya ada beberapa orang yang berdiri merapat ke tengah, menghindari basah. Aku melakukan hal yang sama dengan mereka, merapat pada tiang halte, mencari tempat berdiri untuk menghindari hujan yang lebat itu. Aku menggeser kakiku sedikit demi sedikit. Tiba-tiba tanganku menyentuh sesuatu, spontan aku menoleh, sikuku beradu dengan siku seorang gadis. Sesaat mata kami bertemu pandang, lalu masing-masing tersenyum.
“Maaf,” ujarku pendek,
“Iya, saya maafkan,” jawabnya ringan, aku bengong mendengar jawabannya, memandangnya heran. Caranya menyambut permintaan maafku sungguh unik. Orang biasanya akan berkata ‘tak apa’ atau ‘lain kali lihat-lihat ya!’ atau ‘hati-hati ya’, tapi ini? Aku masih memandanginya.
“Kenapa? Kan sudah aku maafkan,” kalimatnya kembali terdengar. Aku mengangguk, ada malu terbersit di hatiku.
“Kamu sekolah di mana?” aku mencoba mencairkan kebisuan, tapi dia tak menjawab, malah memperlihatkan lengan kemejanya.
“Di negara maju, orang lebih senang membaca daripada bertanya,” busyet dah, dalem banget nih bocah. Tertulis di lengan kemejanya, SMK Persada, lho! Itukan STM. Kuperhatikan dirinya, ya ampun, bener! Dia pakai celana panjang abu-abu.
“Kelas berapa?” aku kembali bertanya, kali ini untuk menghilangkan kesan bodoh, atau mungkin justru aku semakin terlihat bodoh?
“Kelas dua,” jawabannya selalu pendek dan seperlunya, tapi tetap enak didengar. Untuk itulah aku kembali berani bertanya,
“Oh iya, nama kamu siapa?”
“Sofia,” aku mengangguk, aku tak perlu menunggunya bertanya balik siapa namaku.
“Aku Didi,” kalimatku kuusahakan sependek mungkin sambil mengulurkan tangan.
“Rahdian Saputra kan?,” tambahnya.
Aku terpaku beberapa saat, belum ada kata yang mampu aku keluarkan dari rongga suara, kalimatnya kembali meluncur, “Seorang aktivis mahasiswa, mana mungkin orang tidak kenal?” ekspresiku adalah mengerutkan kening. Ada rasa selain heran yang menyelimuti otakku, GR!
“Kau mengenalku? Kita pernah bertemu?” aku mengingat-ingat, kegiatan apa yang melibatkan anak SMK Persada.
“Jangankan aku, coba tanya pada mereka, pasti bisa menjawab siapa nama abang, dan jabatan abang di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum,” aku terpana, begitukah? Tapi aku tak ingin mencoba bertanya.
“Tak percaya? Dengan penampilan seperti ini, mata mereka akan memandang abang sebagai seorang mahasiswa, aktivis,” kalimatnya begitu diplomatis, aku terpukau. Seorang gadis kelas dua STM yang sama sekali belum pernah bertemu, bisa bicara begitu.
“Ada kegiatan apa Bang, di kampus?” aku masih linglung dengan pertanyaannya barusan, kegiatan? Kok tahu.
“Kok tahu?” kali ini aku mengeluarkan pertanyaan itu. Sesaat Sofia tampak bingung, lalu tersenyum dan jari telunjuknya mengarah pada dada samping kananku. Aku tercekat. Betapa bodohnya aku!
Aku masih menggunakan almamater di halte yang dingin ini, aku lupa, kalau di almamaterku terdapat nama plus jabatanku sebagai seorang wakil gubernur mahasiswa fakultas hukum. Tak berlebihan bila dia serba tepat menebak identitasku. Hm, aku saja yang kegeeran. Gadis itu tersenyum.
“Kemarin, kulihat kau menikmati situasi di halte orange,” Tomi yang berjalan di sebelahku bertanya tanpa pengantar,
“Apa?” aku tak menghentikan langkah untuk menanggapi kalimatnya.
“Iya, aku lihat kau bersama siswa STM, wah! Hebat juga kau. Rupanya sudah berani keluar kampus, tapi yang kau gaet gadis STM, ha ha ha! Tapi, manis juga,” aku tak komentar, kami tetap berjalan beriringan. Tapi, tahukah dia? Sungguh hatiku bergolak hebat, terlebih dengan kalimatnya kemudian,
“Di acara pembubaran panitia, kabarnya ketua panitia membuat program jalan-jalan ke pantai, coba kau buktikan, seberapa jauh kedekatanmu dengan gadis itu,” ia menepuk-nepuk bahuku.
“Gadis itu? Itu yang mana?” aku tak mengerti,
“Itu. Yang beberapa kali kau temui di halte, tak elit kencan di halte kampus begitu, ingat reputasimu, sesekali kau ajak kencan di kafe, atau… tak perlu menunggu acara pembubaran panitia, masih dua minggu lagi. Bagaimana kalau kau datang di acara ulang tahun Elisa. Kau harus datang dengannya. Biasanya gadis seusianya paling senang datang di acara pesta abg, kebetulan adikku mengundangmu, bagaimana? Harus setuju, kau harus berani menerima tantanganku,” Tomi sungguh keterlaluan, dia sama sekali tak memberi jeda untukku bicara. Kalimatnya nyerocos mirip perempuan cerewet kebanyakan. Sialnya, tantangannya tak dapat aku tawar-tawar lagi. Kini dia berdiri dengan sok gentle,
“Ayo Boy! Aku yakin kau sedang pedekate atau sudah lewat masa itu? Jangan-jangan gadis itu sudah resmi jadi pacarmu, atau kalian sudah komitmen untuk…” dia menghentikan kalimatnya. “Menikah! Setelah kau lulus kuliah dan gadis itu lulus STM, ha ha ha!” aku hampir saja marah kalau dia tak menghentikan tawanya.
“Namanya Sofia,” aku tak suka dia memanggil nama indah itu dengan sebutan ‘gadis itu’ atau ‘gadis STM’
“Sofia? Hah? Sepertinya bertolak belakang dengan kepribadiannya. Aku melihatnya sebagai gadis yang jauh dari kesan feminin dan tidak biasa berdandan, beda sekali dengan pacar-pacarmu yang dulu!” rahangku mengeras, Tomi semakin keterlaluan.
“Tak biasa berdandan? Pacar-pacaku yang dulu?” aku mengulangi pertanyaannya dengan nada protes.
“Ya! Bukankah begitu? Atau justru karena dia sangat berbeda dari yang sudah-sudah, kau begitu tertarik padanya. Tapi kau sungguh keterlaluan, kau hanya berani kencan di halte orange. Ingat wibawamu itu,” aku terhenyak mendengar kalimatnya barusan. Kencan di halte orange? Sajak pertemuan pertama saat hujan deras itu, kami memang sering dipertemukan oleh waktu dan hubungan ini semakin dekat. Tapi, sekali lagi, dipertemukan oleh waktu di satu tempat.
Tomi sungguh semakin keterlaluan, tanpa konfirmasi padaku, dia menyebarkan gosip murahan. Aku punya pacar anak belasan tahun. Siswi kelas dua SMK Persada! Terang saja mereka mengatakan aku turun pasaran, dan jadi korban julukan “tetanggaku idolaku”. SMK Persada memang berada satu komplek dengan kampusku. Yang lebih mengesalkan, dia mendaulat teman-temaanku di kampus untuk memaksaku membawa Sofia ke acara ulang tahun Elisa tiga hari lagi.
“Aku tak akan datang di acara adikmu yang masih ABG itu!” tukasku, menolak undangannya,
“Kau keterlaluan, adikku berbaik hati mengundang teman-temanku, dia menganggap kamu sebagai abang sendiri, tapi kau malah tak menghargainya,” wajar bila Tomi marah.
“Bukan begitu, tolong mengertilah, aku tak suka acara begitu,” aku merendahkan suara, memohon.
“Kau tak suka, tapi Sofia? Dia harus sering bersentuhan dengan dunia cewek pada umumnya,” ujarnya sambil meninjuku.
“Sialan kau! Apa maksudnya dunia cewek pada umumnya,” aku protes.
“Tenang Boy, jangan tersinggung. Ajaklah ia, perkenalkan ia pada dunia feminin, jangan hanya berkutat pada lab di STM Persada dan nongkrong beberapa menit di halte orange,” dia tersenyum.
“Sialan, berapa kali kau melihatku duduk bersamanya di halte? Kau memata-mataiku?” Tomi terkekeh. “Tapi kau salah, aku dan dia tidak pacaran,” kali ini mata sahabatku terbelalak, setidaknya sampai saat ini aku belum mengungkapkan, ucapku dalam hati.
Tomi mengibaskan tangan di depan wajahnya sendiri, “Ah! Kau memang tak berubah, mana pernah kau mengaku pacar di depanku, tak takut kalau dia jatuh di tanganku karena kau tak mengakuinya sebagai pacar?”. Aku menggeleng, gusar.
“Kali ini aku tak bohong. Kami belum jadian,” aku mengakui dengan jujur. Tomi tampak tercengang.
“Nah! Belum kan? makanya, nanti, di suasana romantis pesta ulang tahun Elisa, kau bisa mengungkapkan kalimat-kalimat gombalmu itu, pokoknya kau harus datang bersamanya, aku sudah membuat pengumuman pada yang lain, mereka penasaran dengan Sofia gadis STM, ha ha ha!” aku tak sempat melayangkan kepalanku, Tomi keburu berlari meninggalkanku.
“Pesta ulang tahun?” mata Sofia terbelalak, lalu tertawa kecil, aku sudah menduganya, mungkin dia akan menertawakanku, lalu menolak ajakanku. “Kenapa mengajakku, Bang?” kalimat keduanya tak dapat kujawab. Aku bingung.
“Ya, karena mereka yang memintanya,” aku begitu polos, gadis di depanku mengerutkan kening.
“Mengapa mereka yang meminta? Mereka siapa? Memang Abang cerita apa?” rentetan pertanyaannya memojokanku.
“Tidak cerita apa-apa, tapi mereka tahu, kita dekat,” aku mengatur napas yang menburu.
“Dekat? Tapi mereka tidak berpikir yang macam-macam, kan?” ia memastikan, aku tersentak, tak mengerti.
“Berpikir macam-macam bagaimana?” Sofia tak segera menjawab, nampaknya ia sedang mencari kata-kata yang pas. Matanya lekat menatapku, pandangannya tenang, aku sangat tegang.
“Aku sedikit tahu maksud mereka, mungkin mereka menebak kita ada hubungan khusus, kita sedang PDKT, atau malah kita sudah… jalan, mungkin. Abang tak diberi kesempatan untuk menjelaskannya,” aku gugup saat mencoba menjelaskannya.
“Jadi, Abang belum mengerti maksud mereka? Bisa jadi mereka menantang bertaruh. Mungkin mereka menyangka kita, ya seperti saya ungkapkan tadi itu. Padahal Abang sudah saya anggap seperti abang saya sendiri,” aku tercekat. Napasku tersengal.
“Jadi,” kalimatku menggantung, banyak makna dari satu kata yang kuucapkan itu.
“Ya, saya tak keberatan menemani Abang di pesta ulang tahun itu, kalau Elisa itu adik Tomi, maka Sofia adiknya Didi, bagaimana?” aku berusaha tersenyum, dan berhasil. Meski hatiku hancur.
“Oke, aku jemput besok.” Sofia terdiam sejenak, lalu mengangguk.
“Bisa! Sekalian abang harus minta izin pada orangtua saya, dan menekankan bahwa kita seperti saudara,” aku menelan ludah dan mengangguk. Kata saudara itu mendengung-dengung di telingaku.
Aku terpaku di depan pintu ketika gadis itu muncul membukakannya dan mempersilakan aku masuk, baru pertama kali aku melihatnya memakai rok, rambutnya di tata dengan rapi dan diberi jepit yang cantik, baru pertama kali aku melihatnya memoles wajahnya dengan bedak tipis, baru pertama kali aku…
“O ya, ini mama,” dia membuyarkan lamunanku, segera aku memperkenalkan diri, lalu meminta izin untuk mengajak putrinya pergi.
“Fi, kamu sudah punya pacar ya?” dia terbelalak, lalu tertawa keras sampai badannya berguncang-guncang.
“Pacar? Buat apa?” aku tercengang mendengar jawabannya. Aku menatapnya heran, dia tersenyum, “Kalau saya enggak punya pacar, bukan berarti saya suka pada perempuan! Mentang-mentang saya sekolah di STM. Saya normal kok! Cuma, saya merasa sudah mendapat curahan kasih sayang dari teman-teman dan keluarga. Pacaran itu harus siap sakit hati karena putus atau patah hati, trus siap kehilangan banyak teman ketika pacar kita nuntun jalan ke sini, temenin ke situ, uh! ribet!”. Aku mengangguk-angguk sambil tertawa.
Hm... Bener juga, kok aku baru merasa apa yang dikatakan Sofia bener. Aku sendiri pernah mengalaminya. Tapi anehnya aku belum kapok juga, bahkan saat ini aku sedang merasakan kembali tanda-tanda cinta itu. Cinta dengan gadis yang akhir-akhir ini dekat denganku. Pertama kali aku bertemu dengannya di halte orange. Dia telah membuat episode tersendiri dalam kisah hidupku.
No comments:
Post a Comment