Friday, 18 April 2014

Tanpamu, Bumi Masih Berputar

“Nggak cuma bertengkar, Ma. Tapi kami udah putus,” jawab Mara dengan mata kosong.
MASIH sayup-sayup terdengar isak tangis Mara yang tertahan. Sebenarnya Mara ingin berteriak mengeluarkan kekesalan hatinya, tapi niat itu diurungkan juga olehnya demi dilihatnya hari telah larut. Mara tak ingin mengganggu penghuni rumah lainnya. Dengan kepala yang sedikit berat serta mata yang bengkak, Mara beranjak dari tempat tidurnya. Dipandanginya foto Ridho yang terpampang di dinding kamarnya, seorang cowok yang selama ini mengisi hari-harinya dengan kebersamaan dan cinta. Dan ketika kebersamaan itu telah tiada, Mara baru merasa sakitnya patah hati. Namun apa mau dikata, bila cinta itu tak selamanya bisa dipertahankan. Dan yang serba manis itu kini hanya menyisakan pahit empedu.
Segera Mara menurunkan foto tersebut, dikumpulkannya bersama barang- barang pemberian Ridho yang lain. Kemudian dikemas menjadi satu dan disimpannya di rak buku yang lama tak terpakai. Dengan perasaan kesal, Mara bergumam sendiri, tidak jelas, masih dengan isak tangis yang begitu menggetarkan hati. Akhirnya Mara kembali berbaring lagi ke tempat tidur, perlahan matanya mulai terkatup meski isak tangis itu masih juga terdengar lirih.
MARA masih tidur ketika suara Mama dari lantai bawah memanggil-manggil namanya agar segera bangun dan turun ke bawah. Karena sekian lama tidak ada sahutan juga, akhirnya Mama naik ke kamar Mara. Dengan hati-hati Mama membuka pintu kamar Mara. Mama heran kenapa pintu kamarnya tidak dikunci. Kemudian Mama melangkah masuk ke kamar, dilihatnya anak kesayangannya itu masih berbaring di tempat tidur. Mama tidak tega membangunkannya, karena dilihatnya Mara sangat pulas tidurnya.
Ketika Mama hendak keluar dari kamar, terdengar panggilan lirih dari Mara yang rupanya terjaga oleh suara langkah Mama.
“Ma …?”
“Eh, Mara sayang udah bangun ya? Mama kira masih tidur. Mama nggak mau ngebangunin Mara, karena Mama tahu kemarin Mara tidurnya larut banget. Iya, kan?”
Mara menggeliat manja di atas kasur empuknya. Mara merasa kepalanya sangat pening, pasti karena jam tidur yang kurang atau mungkin karena kebanyakan menangis tadi malam. Matanya pun kelihatan bengkak. Wajahnya kelihatan lusuh dan pucat.
“Mara, kamu kenapa sayang? Tadi malam kamu nangis? Kenapa?” tanya Mama cemas.
“Nggak kok, Ma,” jawab Mara lesu.
“Nggak gimana? Kamu pucat kayak gini? Kamu sakit?” tanya Mama lagi.
Mara menggeleng lesu.
“Ayolah sayang … kamu ceritakan sama Mama. Nggak biasanya kamu kayak gini,” bujuk Mama.
Mara menghampiri Mama lalu memeluknya. Kembali Mara terisak menangis, membuat Mama makin cemas.

“Mara … kalau kamu diam dan nggak mau ngomongin masalah kamu, Mama nggak bisa bantu kamu. Jangan bikin Mama cemas dong …” Kata Mama sambil membelai lembut rambut Mara.
“Ridho, Ma …” Ucap Mara amat lirih.
“Kenapa Ridho? Kalian bertengkar?” tanya Mama dengan dahi terlipat.
“Nggak cuma bertengkar, Ma. Tapi kami udah putus,” jawab Mara dengan mata kosong.
“Kenapa? Bukankah kalian selama ini baik-baik aja. Mama nggak pernah lihat atau dengar kalian ribut-ribut. Eh … sekali dengar kok malah putus.” Mama nampak bingung.
“Selama ini memang sering ada pertengkaran kecil, Mara sering merasa kecewa tapi Mara nggak pernah ambil hati kok, Ma. Mara nggak suka ceritain masalah pribadi ke semua orang. Mara lebih senang menyelesaikannya sendiri. Mara nggak ingin …”
“Tapi Mama kan bukan orang lain, Ra?” potong Mama cepat. “Mama juga bisa jadi teman dekat kamu. Nggak baik menyimpan masalah sendiri. Kalau bisa diselesaikan sendiri sih nggak apa-apa, tapi kalau makin nambah beban kamu kan juga nggak baik. Kalau kamu mau share sama teman atau orang terdekat kamu, setidaknya kamu bisa sedikit mengurangi beban kamu,” lanjut Mama kemudian.
“Maafin Mara, Ma …” Ucap Mara sambil menundukkan wajahnya.
“Kenapa harus minta maaf sama Mama?” kata Mama sambil tersenyum. “Kalau kamu sakit dan terluka cuma gara-gara seorang cowok, malu dong! Bukankah masih banyak pilihan lain yang lebih baik. Lakukan kegiatan yang bermanfaat dan menguntungkan buat kamu. Ingat kamu baru kelas dua SMA, perjalanan hidup masih panjang. Apalagi yang namanya cinta, kamu masih bisa meraihnya. Mara, kamu pasti bisa!” Mama memberi semangat kepada Mara.
“Makasih, Ma. Mama memang Mama terbaikku. Mara akan berusaha berdiri lagi. Mara nggak ingin jatuh untuk yang kedua kalinya.” Ucap Mara sambil tersenyum tipis.
“Bagus! Ayo buruan mandi, kamu ke sekolah nggak? Jangan bilang nggak loh …” Mama beranjak dari duduknya.
“Oke, Ma …,” jawab Mara singkat. “Eh, Mama membutuhkan aku? Mama sayang sama aku?”
“Tentu aja! Kamu anak manis kebanggaan Mama! Rasa sayang Mama berani diadu dengan siapa pun di dunia ini! Apalagi dengan cowok jelekmu itu!”
Mara terperangah sebentar tapi kemudian tertawa. Mama tidak tertawa, Mama memperlihatkan ekspresi wajahnya yang makin serius.
Mara lantas beranjak dari duduknya menuju kamar mandi setelah Mama keluar dari kamarnya.

SEMUA menjadi jelas dengan kedatangan Ridho yang semula bilang tidak bisa menghadiri pesta ulang tahunnya Rima karena saat itu Ridho masih berada diluar kota. Sudah seminggu Ridho meninggalkannya karena harus mengikuti kompetisi basket antar SMA se-Jawa Barat yang diselenggarakan di Bandung. Kebetulan tim basket sekolah Ridho yang terpilih dan berhasil mewakilinya.
Selama seminggu itu hanya sekali Ridho menelpon Mara. Mara seperti merasa aneh dengan sikap Ridho. Mulai dari nada bicaranya yang selalu gugup dan berusaha mengalihkan perhatian serta setiap kali Mara ingin berlama-lama ngobrol, sampai Ridho yang terkesan kurang peduli dan ingin cepat-cepat mengakhiri telepon ketika Mara menyampaikan sebuah persoalan kecil. Mara mencoba untuk berpikir positif, tapi dalam hati kecilnya ia merasa yakin kalau ada sesuatu dengan Ridho.
“Mungkinkah dia telah menduakan cintaku?” batin Mara.
Karena Ridho tidak bisa pulang, akhirnya Mara datang bersama Sasa dan Ratih. Tapi sesampainya disana, Mara heran bukan main karena melihat Ridho telah duduk bergerombol dengan teman-temannya.
“Mara, bukankah itu Ridho? Katamu dia nggak bisa datang tapi kok bisa ada disini?” tanya Sasa bingung.
Tak cuma Sasa dan Ratih, Mara jauh lebih bingung dibuatnya. Mara tidak habis pikir, kenapa Ridho pulang tapi tidak memberi tahu dia terlebih dahulu?
“Aku … aku … aku juga nggak tahu, Sa. Aku nggak tahu kalau Ridho bakal datang ke pestanya Rima,” jawab Mara terbata.
“Loh …? Kamu gebetannya, kan? Emang Ridho nggak ngasih tahu kamu sebelumnya?” tanya Ratih.
“Nggak. Dia malah bilang kalau nggak bisa datang karena dia masih ada satu pertandingan lagi di Bandung,” jawab Mara kemudian.
“Rima kan mantannya Ridho, jadi mana mungkin Ridho melewatkan hari spesial ini,” celetuk Sasa.
Ratih segera mencubit lengan Sasa, karena dilihatnya raut muka Mara yang merah. Mungkin marah.
Segera Mara menghampiri Ridho yang tengah asyik ngobrol dengan teman-temannya.
“Ridho, udah lama disini?” sapa Mara dingin.

Ridho kaget dengan sapaan Mara. Baru kali ini Ridho lihat wajah dingin Mara. Selama ini Mara nggak pernah marah, sekalipun Ridho sering ngeselin dan ngecewain hati Mara. Tapi kali ini …?
“Nggak terlalu,” jawab Ridho singkat, kemudian berpaling ke arah teman-temannya. “Ron, Zal, aku tinggal sebentar ya?” kata Ridho pamitan sama Rony dan Rizal.
“Jangan lama-lama, Dho!” Seru Rony
Ridho mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. Ridho beranjak dari duduknya lalu mengajak Mara keluar dari kerumunan pesta itu. Mereka duduk di beranda depan rumah Rima. Keduanya hanya diam membisu, hanya desahan napas sesekali keluar dari bibir mereka.
“Apa kabar, Ra?” tanya Ridho memulai percakapan mereka.
Apa kabar? Apa aku nggak salah dengar? Kata itu menjadi terasa asing di telingaku. Sepertinya kami memang benar-benar telah jauh.” Batin Mara sedih.
“Baik,” jawab Mara singkat.
Sesaat kembali mereka terdiam kembali.
“Maafin aku Ra, nggak ngasih kabar ke kamu terlebih dahulu kalau aku pulang hari ini.” Kembali Ridho memecah keheningan. “Ada hal penting yang mau aku omongin ke kamu,” lanjutnya.
Mara masih membisu. Matanya memandang kosong ke depan.
“Mara, kamu harus dengerin aku dulu. Aku nggak mau nyakitin kamu …”
Mara terhenyak. “Apa maksudmu?”
“Aku ingin kita jalan sendiri-sendiri aja.”
“Kamu pengin kita bubaran?” tanya Mara dengan mata melotot.
“Ya.”
“Kenapa? Apa salahku, Dho?”
“Kamu nggak salah, Ra … Kamu manis, baik, pintar. Siapa sih yang nggak pengin dekat ama kamu. Tapi akan lebih baik jika aku menjadi sahabat terdekat kamu. Aku nggak akan pernah bisa mencintai kamu seutuhnya. Lagian waktuku udah habis.”
“Waktu? Waktu apa? Aku makin nggak ngerti, Dho?”

“Selama ini aku telah membohongi kamu, Ra. Sebenarnya aku dan Rima belum pernah ada kata putus. Kami cuma break, introspeksi diri. Dan di sela waktuku itu, kamu datang dengan segala pesona. Nggak bisa aku pungkiri kalau aku tertarik sama kamu, aku sayang kamu tapi … kamu tau, Ra … Rima saat ini lebih membutuhkan aku. Aku akhirnya tau, ia amat sangat membutuhkan aku. Mamanya membujukku agar aku selalu menemani dan menjaganya.”
“Dan aku …?” potong Mara cepat. Tapi ia menelan kembali kata-katanya: Bukankah aku juga membutuhkan kamu?”
“Maafkan aku, Ra …” Ridho sambil tertunduk.
Tanpa menunggu kalimat selanjutnya dari Ridho, Mara segera berlari dengan isak tangis dan kekecewaan yang sangat dalam. Ridho berusaha mengejarnya hingga ke tepi jalan, tapi Mara telah menghentikan sebuah taksi dan kemudian berlalu.
Sasa dan Ratih yang dari tadi celingukan mencari Mara ketemu dengan Ridho yang tengah duduk termangu di beranda depan.
“Dho, kamu lihat Mara nggak?” tanya Sasa.
“Mara udah pulang, Sa,” jawab Ridho singkat.
“Sendiri? Dan kamu nggak nganterin? Tega lo, Dho!” Seru Ratih kemudian.
“Kalian bertengkar? Kamu nyakitin hati Mara? Kamu ngecewain Mara!” Cecar Sasa nggak mau kalah.
“Tunggu! Aku nggak bermaksud demikian! Kalian nggak bakalan ngerti! Apa pun yang kalian pikirkan tentang aku, tolong sampaikan maafku sama Mara,”  ucap Ridho dengan lesu kemudian berlalu meninggalkan Sasa dan Ratih yang masih bingung dengan apa yang terjadi.
SESAMPAINYA di sekolah, Mara telah diberondong berbagai pertanyaan oleh sahabat dekatnya, Sasa dan Ratih. Mereka mencemaskan keadaan Mara karena sejak kejadian di pesta ulang tahun Rima di akhir pekan kemarin, ponselnya sulit dihubungi. Mereka tahu, tanpa Mara cerita pun, pasti ada masalah berat.
“Ra, kamu nggak apa-apa kan?” tanya Sasa hati-hati.
“Kita udah tahu kok masalahnya. Kemarin Ridho nitip maaf buat kamu. Sori kalau aku ikut campur, kayaknya Ridho nyesel banget. Sebenarnya dia nggak ngebayangin semua akan seperti ini.”
Namun Mara tersenyum tipis pada mereka. Lalu bersenandung lirih:

Ternyata tanpamu langit masih biru
Ternyata tanpamu bunga pun tak layu
Ternyata dunia ini tak berhenti berputar

Walau kau bukan milikku …


“Nggak apa-apa kok. Kalian nggak perlu khawatir begitu. Aku berterimakasih banget kalian udah mau care sama aku. Kalian memang sahabat terbaikku. Bukankah hidup ini indah jika kita tahu cara mengisinya?” Mara memegang tangan Sasa dan Ratih dengan erat.
“Nah begitu dong Ra, karena masih banyak pilihan menantimu!” Celetuk Sasa kemudian.
“Soktoy loh!”
“Apaan tuh?” tanya Sasa dan Ratih hampir bersamaan.
“Sok tahu loh …!” jawab Mara.
Ketiganya lalu tersenyum dan tertawa tergelak. Terasa tanpa beban, dan kejadian kemarin telah terlupakan. Bel tanda masuk sekolah berbunyi, mereka bertiga bergegas menuju kelas mereka dengan ceria. Sasa dan Ratih tak tahu bahwa di dada Mara, perih dan pedih itu masih ada dan entah sampai kapan akan benar-benar sirna.

Oleh Donatus A. Nugroho & Nunung Rahmawati



No comments: