Tapi sungguh aku tak menyadari hari selanjutnya, sesuatu terjadi di antara aku dan Mitchell. Sesuatu bermata biru itu, yang aku takutkan sejak awal persahabatanku dengan cowok berwajah bersih dan...
“Tina!”
Aku menajamkan pendangan ke depan. Mitchell Crouse melambai-lambaikan tangan dari depan Pizza Haven. Dia sahabat baruku, siswa sekolah swasta Crossworth. Ia memang pulang sejam lebih awal dari sekolahku, makanya dia bisa menungguku.
“Hai.”
Mitchell tersenyum, sudah tiga minggu hal ini berlangsung, tepatnya sejak dia putus dengan Sarah Downey dan aku putus pula dengan cowokku Nick Johnson.
“Sebaiknya kita meluaskan wawasan dengan melihat orang lain,” itu kata-kata terakhir Nick Johnson sebelum putus denganku. Untung aku punya sahabat seperti Mitchell yang enak buat di ajak ngobrol.
Hari ini aku memakai blaser biru, blus putih dan rock mini di atas lutut. Sambil memegang erat tasku, aku berusaha menghindar dari lalu-lalang pejalan kaki di depan Pizza Haven yang ramai.
“Aku tiba-tiba suka dengan jenis pakaian yang seperti ini,” ujarku sambil tersenyum ketika Mitchell kulihat melirik rok-ku setelah aku berdiri di dekatnya.
“Kamu semakin menarik kok dengan rok itu,” komentarnya sambil tersenyum.
Aku membalas senyumnya. Aneh? Nggak juga. Hanya belakangan ini Mitchell memang agak kelihatan lain kalau menatapku.
Tak lama, kami sudah duduk berdua di dalam ruangan Pizza Haven. Aku dan Mitchell mengambil tempat duduk di pojokan.
“Ada yang ingin kamu katakan Tina. Katakanlah.”
Aku mengangkat bahu.
“Aku memutuskan untuk tetap sendiri sampai akhir tahun ajaran ini.”
“Maksudmu?”
“Aku nggak mau pacaran dulu. Aku nggak mau pikiran, konsentrasi, dan energiku habis hanya untuk urusan pacaran.”
“Kenapa? Takut putus lagi?” tanya Mitchell.
“Nggak, bukan itu,” sahutku.
“Aku trauma dipermainkan cowok. Dan kalaupun nggak mempermainkan, cowok biasanya egois.”
“Ya, tapi kan nggak semuanya cowok seperti mantan kamu itu. Dan terus terang, aku nggak mau dicap egois seperti cowok-cowokmu terdahulu.”
Aku seketika heran.
“Hei, tapi kamu kan sahabatku, bukan pacarku. Kenapa kamu seperti tersinggung? Aku cuma membicarakan si….”
“Nick Johnson yang kamu maksud, kan?”
“Ya, si egomaniak itu. Dia cowokku selama musim panas kemarin. Dia selalu membangga-banggakan dirinya, kelebihannya, kepiawaiannya sebagai pemain belakang di tim American Football, wah... pokoknya membosankan.”
“Ya aku mengerti, aku mengerti Tina… aku tidak tersinggung, aku maklum deh.” Mitchell tersenyum.
Lalu aku bersukur, di sore yang indah ini Mitchell tidak mengungkit-ungkit masalah yang menyakitkan itu lagi.
Aku bertemu Mitchell waktu itu ketika aku tengah melihat lihat daun-daunan dari kayu di Hobby-Shop. Aku dikejutkan oleh seorang cowok yang berdiri sambil membelakangiku, persis di sebelahku. Cowok itu, siapa lagi kalau bukan Mitchell. Dia hendak membelikan sesuatu untuk Sarah Downey, ceweknya, dari sinilah kami mulai berkenalan.
Sejak itu kami terus bertemu seminggu sekali di Pizza Haven, pertemuan pun jadi beranjak setiap hari setelah Mitchell putus dengan Sarah. Kami sama-sama senang ngobrol dan menghabiskan waktu dari siang hingga petang di Pizza Haven. Mulai dari ngobrolin soal film, buku baru, Sarah, juga mantanku Nick, sampai soal-soal keseharian di sekolah.
Suatu kali aku membawa buku yang kemudian kuberikan pada Mitchell.
“Mungkin buku bisa menolong biar kamu baikan lagi sama Sarah,” ujarku tersenyum.
“Buat apa? Apa hubungannya dengan aku dan Sarah?” tanyanya tak mengerti.
“Baca dulu deh. Beberapa minggu terakhir ini kamu empat kali meneleponku tengah malam dan menghujaniku dengan sms. Jadi nunggu berapa hari lagi untuk baikan dengan Sarah? Kamu kan tahu, aku nggak punya saran yang jitu.”
Mitchell menerima buku yang berjudul Letters to a Young Poet karangan Rainer Maria. Lalu memandangi sampulnya dan mengangguk-angguk.
Aku memandanginya dengan senyum.
“Aku menyukai bagian yang membicarakan saat-saat kesedihan. Buku itu mengajari kita bagaimana cara supaya kita tidak lari dari kenyataan dan menggantinya dengan menghayati kesedihan. Menarik bukan?’
“Kedengarannya sih….” Sambutnya enteng.
“Aku sendiri nggak ngejalaninya, cuma membaca aja. Di situ pengarangnya juga bilang, kesedihan adalah bagian dari perjalanan hidup kita. Kita nggak perlu lari dari kenyataan, tapi tetap tegar. Karena dari sini kita bisa menjadi pribadi yang dewasa.”
Tapi Mitchell tetap bungkam.
“Jujur aja, setelah membaca buku ini aku merasa hubunganku dengan Nick musim panas kemaren nggak lebih dari sebuah reaksi kepanikan karena sebelumnya aku baru putus dengan cowok lain. Tapi kuncinya aku nggak membiarkan diriku larut dalam kesedihan.”
Pelayan datang membawa pizza dan minuman pesanan kami.
Setelah membuka bungkus sedotan, kuambil buku itu dari tangan Mitchell yang cuma membolak-baliknya, lalu kucari bagian yang sudah kugaris bawahi.
“Dengerin nih,” ujarku setelah menemukan kalimat itu.
“Semua orang pasti pernah mengalami kesulitan. Dan segala bentuk kesulitan atau hal-hal yang menakutkan lainnya, pada dasarnya harus diselesaikan secara dewasa, bagus kan?”
Mitchell mengangguk angguk pelan.
“Aku suka itu,” katanya enteng.
Tapi aku merasa tidak puas dengan sikap Mitchell itu, dia masih nganggap enteng, basa-basi.
Dengan sabar aku mencoba membimbingnya, walau kupikir ini hanya sia-sia.
Tapi sungguh aku tak menyadari hari selanjutnya, sesuatu terjadi di antara aku dan Mitchell. Sesuatu yang aku takutkan sejak awal persahabatanku dengan cowok berwajah bersih dan bermata biru itu. Sesuatu yang sudah kukatakan pada Mitchell, bahwa aku masih ingin sendiri, nggak mau memikirkan soal pacaran.
“Aku terus memikirkanmu Tina. Sudah lama hal ini berlangsung. Bayang-bayang wajahmu, perasaan selalu rindu, dan… ah, semuanya muncul begitu saja. Dan setelah itu, aku jadi merasa bersalah karena aku pernah memiliki Sarah Downey.”
Aku diam saja sambil menatap ke arah luar Pizza Haven, melihat pasangan-pasangan yang mesra bergandeng tangan dan duduk-duduk di bangku kayu di bawah pohon.
“Kadang kadang aku berpikir, apa yang telah terjadi padaku? Tapi kemudian kusadari sepenuhnya bahwa aku benar-benar suka bersamamu dibanding dengan cewek lain,” Mitchell menunduk, tak berani memandang wajahku.
“Mitchell….” Aku mulai gelisah.
“Aku nggak tahu harus ngomong apa tentang semua ini. Maksudku aku ikut merasakan perasaanmu. Belakangan ini kita mulai terus bersama-sama dan aku tahu persis kamu tampak begitu panik.”
“Ya, begitulah. Sekarang ini aku nggak tahu lagi bagaimana cara membuat kamu mengerti apa yang ada di hatiku. Katakan saja Tina, apa pun yang kamu katakan, aku akan tetap menerimamu. Apa mungkin ada cowok lain yang lebih kamu harapkan untuk menikmati suasana sore hari di Pizza Haven yang indah ini?”
Aku diam. Kutatap langit-langit dengan galau.
Pelayan datang membawakan soda pesanan kami, Mitchell membungkukkan badannya tanda terimakasih kepada pelayan.
“Semakin hari aku semakin dekat denganmu, aku semakin mengharapkanmu. Bagiku kamu adalah cewek yang paling menarik yang pernah kukenal, Kupikir, apa yang kurasakan terhadapmu selama beberapa hari terakhir ini adalah sebuah perasaan cinta yang begitu dalam.”
“Jangan bilang begitu Mitchell,” tukasku.
“Kenapa?”
“Karena aku benci kalimat itu. Rasanya aneh membicarakan cinta saat ini. Maksudku, kencan pun kita belum pernah, tiba-tiba kamu ngomong cinta.”
“Bagiku nggak ada yang aneh Tina. Kamulah satu-satunya cewek yang terus memberitahu aku bagaimana kita seharusnya mempercayai perasaan kita dan berbicara secara terus terang….”
“Ya, tapi aku lebih menyukai situasi seperti ini saat kita baru pertama kenal. Sesungguhnya aku juga selalu ingin bersamamu, tanpa harus berpacaran. Aku takut setelah kita berpacaran nanti, kita dibatasi oleh egosentris kita masing-masing. Seperti yang terjadi antara aku dan Nick.”
“Aku bukan Nick, Tina….”
“Jangan terlalu terburu-buru Mitchell. Kalau kita gagal, rasanya hampir mustahil kita bisa berteman seperti ini lagi, itu yang aku cemaskan.”
“Itu risiko….”
Aku menarik napas.
“Tanpa perlu memikirkannya lagi, Mitchell?”
Mitchell menggeleng, tegas.
“Sekali kuputuskan, berarti itu merupakan sesuatu yang sudah berbulan-bulan kupikirkan.”
Aku menggigit bibir.
“Ini gila. Kamu begitu serius diluar dugaanku. Oke, oke kita pacaran, tapi kuharap kamu bisa menyadari akibat yang ditimbulkannya kemudian hari. Jika kita pacaran, lalu punya masalah, kepada siapa kita membicarakannya, kita toh akan saling membenci, seperti aku dengan Nick, juga seperti kamu dengan Sarah.”
Mitchell tertawa dan memegang jari-jari tanganku.
“Kupikir itu bukan masalah yang gawat kan, Tina?” lanjutnya kini serius.
Kutatap ke dalam bola mata Nick yang biru, mata yang mengajakku untuk mencoba berenang disana, lalu pelan-pelan aku mencoba tersenyum.
Saat kami meninggalkan Pizza Haven, tiba-tiba kurasakan aku jadi canggung seperti layaknya remaja yang baru resmi pacaran pertama kali. Di luar, kulihat bayang-bayangku sudah memanjang oleh matahari sore. Angin bertiup lembut menggugurkan daun-daun. Semuanya seperti tak ada yang berubah. Aku mencoba cinta lagi seperti merasakan Pizza saja.
No comments:
Post a Comment