Ah,apalah arti sebuah nama, yang penting isi hatinya dong!”
Matahari sangat menyengat hari ini.Tidak seperti biasanya. Mungkin karena aku pulang agak cepat dan merasakan keadaan ini. Panasnya sinar matahari itu menusuk kulit sampai ke dalam dagingku,dan terus menghujaniku dengan cahaya UV-nya yang merusak. Sementara itu, aku mencari tempat sejuk untuk melepaskan lelah. Tapi ternyata, lautan sinar itu telah menjajah tempat ini. Terpaksa aku harus berpanas-panasan ria.
Aku duduk termenung sambil meletakkan telapak tangan di atas kepala,mencegah cahaya yang mulai mendidihkan otak. Sekalian menunggu teman-teman tongkronganku yang belum datang.Tiba-tiba seorang gadis cantik berdiri tepat di hadapanku dan sekaligus menghalangi panas yang menyengat itu. Aku berharap agar dia tetap di sana.
“Asyik, nih jadi adem deh dunia,” kataku sambil menggoda, karena ia kebetulan satu sekolah denganku.
“Eh,sorry,ngalangin, ya?”
“Ah, enggak malahan kamu nolongin.”
“Bohong,ah! Jelas-jelas kamu lagi lihat cewek di seberang jalan itu!” Sambil menunjuk ke cewek yang ada di seberang jalan, menyangka kalau aku benar- benar terhalangi olehnya. Padahal aku pun tak tahu bahwa ada gadis lain di seberang jalan itu.
“Yah, nggak percaya! Kamu membendung panas matahari yang mengenaiku ini, makanya aku bilang kalau kamu itu nolongin aku.”
“Ooo... kalau begitu, aku minta maaf sekali lagi!” Gadis itu menyodorkan tangan kecilnya padaku.
“Nggak usah begitu, dong, memangnya kamu salah apaan?” Aku menolak permintaan maafnya, karena memang ia tidak bersalah. Tapi mendadak, paras wajahnya berubah.
“Kenalan dong!”
“Kenalan sama siapa?”
“Ya kenalan sama kamu, masak sama sopir angkot
“Jangan marah begitu, dong. Namaku Marissa, panggil saja Icha.” Sambil tersenyum kecil ia menyebut namanya . Senyumannya membuatku mabuk.
“Icha? Kayaknya aku pernah denger! Kamu kelas tiga kan?” tanyaku penasaran.
“Iya , memangnya kenapa?” Nada suaranya meninggi. “kalau kamu satu sekolah denganku, baru kamu bingung.”
“Makanya aku mau kenalan sama kamu, kalau nggak satu sekolah, buat apa aku tanya-tanya terus!”
“Ooo... Jadi kamu anak SMU 100 juga! Tapi kenapa aku nggak pernah kenal denganmu?”
“Aku kan anak baru. Baru pindah dari tempat nan jauh di mata.”
“Pantas saja aku nggak kenal sama kamu, ternyata anak baru, ya. Nama kamu siapa?”
“Namku, Eross Sahputra, panggil saja Eross.”
“Eross? Kayak pemain gitar Sheila on setan, eh salah, , maksudku Sheila On Seven!”
“Ah, apalah arti sebuah nama, yang penting isi hatinya dong!”
“Gombal! Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Ross! Sudah hampir sore, nih.” Ia memberi tangan pada mobil angkot yang kebetulan lewat depannya.
“Buru-buru banget, sih, matahari saja belum berselang dengan rembulan , tapi kamu sudah mau pulang.”
“Dasar, kamu, anak bahasa! Simpan saja deh syair-syairmu, nanti kehabisan lagi. Aku pulang dulu, ya!” Ia melambaikan tangannya untukku. Aku mabuk lagi.
“Dadah, Icha....” Aku membalas lambaiannya, waktu tak bisa diajak kompromi. Tinggallah aku yang kembali sendiri lagi, duduk mereka-reka nasib.
Tak terasa cahaya matahari yang tebal itu telah minggat dari daerahku, namun aku heran, dari tadi teman-temanku yang lain tak jua tiba. Ke mana, ya mereka?
Kala pikiran ini kian terbang, teriakan yang tak asing lagi memekak di telingaku.
“Eross....!! Kau mau pulang bareng nggak?” Ternyata si Anton, teman karib yang juga tetanggaku. Ia mengajak pulang bersama motornya yang tinggal kerangka itu. Kata Anton, teman-teman yang lain ada tanding sepak bola di sekolah. Kami disuruh pulang duluan. Kami pun melesat pergi meluncur ke istana masing-masing.
Senja telah tiba, mulai menggoda malam yang telah leleh menunggu. Dan pagi pun menjemput sang malam yang indah itu. Akhirnya aku kembali harus menunaikan tugasku sebagai seorang pelajar yang terpelajar. Pergi ke sekolah membosankan. Tapi kini dalam kebosanan itu ada secercah kebahagiaan yang hinggap.
Hal ini terus terjadi padaku, yaitu menunggu angkot yang selalu sesak dengan penumpang. Saking banyaknya orang-orang yang ingin menaiki angkot, aku mesti rela berlari-lari mengejar mobilku. Berjayalah wahai sopir angkot.
Di sekolah, seperti biasanya hanya kesendirian yang bisa membuatku bahagia, bukannya aku membenci keramaian, tetapi keramaian itu sendiri yang akan membenciku jika aku harus terhanyut di dalamnya.
“Eross!! Coba ulangi lagi penjelasan ibu tadi di papan tulis !”
Sial, ibu guru menangkap basah aku yang sedang melamun. Bisa berabe, nih.
“Penjelasan apaan, Bu?”
“Huuuu, dasar , bengong melulu sih !” teriak teman-teman sekelas mengejekku.
“Iya tuh bu, suruh nyanyi saja bu!” cuapan temanku yang lain bersahutan.
“”Kalau kamu nggak bisa, ayo nyanyi didepan ,Ross!” tandas ibu guru tergoda ayuan ‘iblis-iblis’ itu.
“Enggak mau ah bu!” jawabku dengan kesal.
“Kamu ngantuk ya? Kalau begitu cuci muka dulu sana!”
Sial teramat sial hari ini. Pagi-pagi sudah kena dampratan guru. Apalagi ‘tangga’yang akan menimpaku? Huff, aku melangkah meninggalkan kamar mandi menuju kelas, setelah sempat cuci muka.Baru selangkah berjalan, terdengar suara hentakan sepatu yang begitu cepat dan sekejap melewatiku seperti angin.
“Permisi..., eh Eross?”
“Eh, kirain angin ribut dari mana. Icha mau kemana?”
“Mau ke perpustakaan. Lagi pelajaran apa Ross?”
“Lagi pelajaran membosankan.”
“Memangnya pelajaran apa?”
“Sssst, jangan keras-keras ngomongnya, ini kan di depan kelasku! Nanti aku kena marah lagi sama guru bahasa itu.”
“O..., pelajaran bahasa ya. Tapi kenapa kamu nggak masuk?”
“Tadi dari toilet, cuci muka, soalnya tadi kena marah sama ibu guru gara-gara ngantuk.”
“Kamu sih pakai acara ngantuk segala. Oh iya,kamu nanti ada waktu nggak pas jam istirahat?”
“Yah aku nanti mau terusin bacaan di perpustakaan.”
“Kebetulan, aku mau minta tolong bikinin puisi.Buatnya nanti di perpustakaan saja bisa kan?”
“ Bisa, tapi buat apaan...” belum sempet kuteruskan pertanyaanku tiba-tiba pundakku ditepuk oleh guru bahasa itu.
“Mau jadi pilot Bu....!! serentak teman-teman didalam kelas berteriak.
Aku tertunduk kuyu. Kulihat Icha berlari kecil menuju kelasnya senyumnya menusuk hati. Ada kencankah nanti?
Bel istirahat memekik ke seluruh penjuru sekolah. Mengiringi langkahku ke tempat favorit: perpustakaan. Saat sedang asyik membaca buku teusan kemaren, sosok wangi itu kembali di hadapanku
“Cieileh,bacanya serius banget,sih. Sampai nggak tau kalau aku ada disini dari tadi.
“Eh, Icha ya, maaf, aku tadi lagi konsen.O iya tadi kamu bilang mau bikin puisi buat apa?
“Mhh... buat tugas bahasa Indonesia, kok” Tampaknya ia ragu mengatakannya.
“Tentang apa?
“Tentang cinta... kalau nggak keberatan.”
“Ah nggak aku tak keberatan sama sekali.”
Ya tak keberatan, tapi aku bingung apa iya tugas bahasa Indonesia disuruh buat puisi cinta. Ah... aku tak peduli mau buat apa yang penting hatiku telah jatuh cinta padanya.
“Nih, puisinya, Cha. Jangan diejek ya kalau kata-katanya jelek.”
“Ya ampun segini bagusnya dibilang jelek?? Jangan merendah gitu dong, Ross, ini kan puisi romantis.” katanya dengan gaya manja. Padahal puisi itu kubuat khusus untuknya. Aku terpesona “ ya sudah, terima kasih ya Ross. Aku mau berikan tugas ini dulu, dadah....”
Tersenyum dan terus tersenyum saat ia mengakhiri pertemuannya denganku. Ia berselisih jalan dengan Anton, Tampaknya Anton heran ketika aku melambaikan tangan pada Icha.
“Kau ada hubungan apa dengan anak IPS itu? Kayaknya dari tadi lama sekali kau bicara dengan dia,” tanya Anton sambil mengambil koran otomotif di sampingnya.
“Nggak ada apa-apa kok, aku baru kenal sama dia”
“Aku dengar-dengar anak itu baru PDKT sama anak IPA hati-hati saja kau Ross,! Jangan sampai dipermainkan sama tuh cewek!
Ups, mendengar kata Anton tadi, aku tambah curiga, barangkali puisi untuk Icha tadi bukan tugas? Barangkali untuk yang lain....
Pulang sekolah, sebelum masuk rumah, Anton kembali menemuiku bersama seseorang yang tak aku kenal.
“Ross!!! Tunggu, woi!” melihatku yang tergesa-gesa, Anton berteriak dan berlari.
“Lho tumben nggak bawa motor, memang kemana motormu, Nton?”
“Lagi di bengkel. Biasalah penyakit kambuhan. Oiya aku ada perlu denganmu Ross.”
“Ada apa? Penting banget? siapa yang meninggal?”
“Busyet, nggak ada yang meninggal!! Sembarangan saja kau! Begini, ini ada yang mencarimu namanya Gyo, kelas IPA tiga.”
“Ooo, terus?”
“Si Gyo ini bertanya padaku, katanya siapa anak bahasa yang jago buat puisi.Siapa lagi kalau bukan kau, Eross sang Pujangga. ”Puji Anton cengegesan.”
“Hmmmm... mau dibuatkan puisi? kalau boleh tahu buat siapa ya Gyo?”
“Iya ,Ross aku mau minta tolong dibuatkan puisi buat temanku namanya Icha. Soalnya tadi pagi dia kasih puisi untukku, isinya Romantis banget, aku nggak sanggup balasnya, sayang kalo nggak dibalas,orangnya kan cantik, kalau aku jadian sama dia, kalian berdua aku traktir,deh!”Jawab Gyo panjang lebar.
Dan jantung ini pun tidak berdebar,barangkali sudah berhenti.
No comments:
Post a Comment