Thursday 11 September 2014

Asal Mula Danau Tendetung di Banggai Kepulauan


Asal Mula Danau Tendetung di Banggai Kepulauan


      Pada zaman dahulu, di sebuah dusun kurang lebih 2 kilometer dari kampung kanali, ada sepasang muda-mudi yang saling mencinta. Percintaan mereka tidak mendapat restu dari kedua orang tua mereka. Menurut adat dan agama, mereka memang terlarang untuk menjadi suami isteri. Untuk memisahkan mereka, kedua orang tua si gadis berencana untuk menikahkan putrinya dengan pria lain. Sang pemuda merasa sakit hati dengan rencana tersebut dan berusaha menggagalkan pesta pernikahan tersebut. Jauh sebelumnya dia sudah memberitahukan rencana ini kepada kekasihnya. Mereka sudah sepakat untuk melarikan diri di hari tersebut.
Anda ingin tahu apa yang dilakukan pemuda tersebut? Pemuda tadi sengaja mengumpulkan binatang-binatang laut yang dimasukkan ke dalam bambu. Menurut kepercayaan saat itu, bila barang-barang tersebut diletakkan di rumah orang yang sedang berpesta, akan menimbulkan malapetaka (dalam bahasa banggai Tobibil) yang amat besar di daerah itu. Pemuda itu nekat untuk mempersunting idamannya, tanpa mempedulikan bila rencana tersebut akan menimbulkan bencana besar bagi orang lain. Dia begitu yakin bahwa dengan perbuatan yang akan dilakukan tersebut akan menimbulkan mata air yang membanjiri seluruh daerah tersebut. Karena keyakinan tersebut, jauh hari sebelumnya dia sudah menyiapkan sebuah perahu yang akan digunakan bersama kekasihnya untuk melarikan diri ke daerah lain, dan hidup bahagia di daerah yang baru.

    Tepat pada hari pernikahan sang gadis, pemuda tersebut mengikatkan benda-benda pantangan yang telah dipersiapkan pada tiang utama rumah panggung yang akan dibuat pesta, dengan harapan akan timbul Tobibil. Benar perkiraannya,
pesta itu akhirnya buyar berantakan dengan timbulnya air bah yang memancar dari bawah bangunan yang telah diletakkan benda-benda larangan tersebut. Tanpa mempedulikan korban lain yang berjatuhan, pemuda tersebut segera mengajak kekasihnya naik perahu yang telah disiapkannya. Merekapun segera melarikan diri mengikuti derasnya air yang keluar dari dalam tanah tersebut.
Rupanya perbuatan mereka itu tidak hanya ditentang oleh kedua orang tuanya. Alam dan Tuhan pun ikut murka pada perbuatan tersebut, sebab banyak sekali rintangan yang menghadang pelarian kedua remaja tersebut. Pada setiap perjalanan, perahu mereka selalu dihadang oleh pohon-pohon yang tumbang, sehingga memaksa mereka untuk membelokkan arah ke tempat lain. Demikianlah, rintangan bertubi-tubi datangnya, sehingga belokan perahu itupun mencapai berpuluh-puluh tikungan. Pada belokan yang ke seratus, mendadak di depan mereka ada sebuah lobang besar berdiameter kurang lebih lima meter yang menelan air bah tersebut termasuk sepasang sejoli tadi bersama perahunya. Tak seorangpun tahu apa yang dialami oleh dua sejoli tersebut dalam tanah. Yang jelas, cita-cita mereka untuk hidup bahagia bersama musnah sudah.
Kurang lebih tiga bulan kemudian di kampung kanali muncullah dua mata air yang jernih. Jarak antara mata air yang satu dengan mata air yang lainnya kurang lebih 300 meter. Dari kedua mata air tersebut mengalirlah dua sungai yang bermuara di lautan. Akhirnya, oleh penduduk kedua sungai itu diberi nama sundano dan kekiap yaitu nama sepasang sejoli yang bernasib sial tersebut. Penduduk berkeyakinan bahwa kedua mata air itu adalah penjelmaan dari jasad muda-mudi tersebut, yang mungkin perahunya pecah di kedalaman tanah sana, sehingga tubuh mereka terlempar pada kedua mata air tersebut.

        Nasib kedua sejoli ini memang telah berakhir dengan tragis, tetapi keanehan-keanehan muncul setelah peristiwa tersebut. Setiap enam bulan sekali, air yang mengalir dari awal air bah menuju lobang besar tersebut seperti tersumbat sesuatu, sehingga mengakibatkan seluruh daratan tergenang air menjadi sebuah danau yang disebut Danau Tendetung. Enam bulan kemudian air tersebut kering bagai ditelan bumi, sehingga tampaklah air sungai yang berbelokan seratus tikungan tersebut. Anehnya lagi, setiap surut atau kering, pada mata air sungai yang berkelok seratus tadi bermunculan ikan-ikan yang disebut penduduk ikan Telendek. Karena hal tersebut, banyak penduduk yang turun ke tendetung mencari ikan sekalian berdarmawisata. Akibatnya, air yang ada di Sundano dan Kekiap pun menjadi agak keruh. Karena hal ini terjadi secara rutin, penduduk sekitar, termasuk suku Bajo, yang memanfaatkan air Sundano dan Kekiap bisa menandai, kapan air danau kering dan kapan air danau naik.

        Satu keanehan lagi, yang sampai kini menjadi satu pantangan yang amat dipatuhi penduduk, yakni: Air yang ada di Mata Air Sundano TIDAK BOLEH dicampurkan dengan air yang ada di Mata Air Sungai Kekiap. Apabila pantangan ini dilanggar, niscaya akan timbul sebuah malapetaka yang amat hebat (Papaak Koselese) di wilayah itu. Adapun kepercayaan penduduk yang berpendapat bahwa sungai yang di bawah tanah antara danau Tendetung dengan kedua sungai tersebut banyak belokannya, ini bisa dibuktikan. Pernah diadakan percobaan dengan cara menghanyutkan buah pinang ke dalam lobang masuk sungai di dalam tanah tadi, kemudian menjaganya di mata air sundano, dan kekiap. Ternyata, buah pinang tadi sampainya di sana sudah berwarna kuning, dan memakan waktu sekitar 3 bulan. Padahal jarak dari lubang ke mata air tersebut tidaklah jauh, kalau ditarik garis lurus, mungkin tak sampai semalam sudah sampai ke tujuan.
Ada lagi bukti lain, ada satu tempat di antara Danau Tendetung dan Kanali yang disebut daerah Ndundung, bila kaki dihentakkan akan berbunyi seperti bunyi Gong (Ndundung). Hal ini menandakan bahwa di dalam tanah ada satu lobang besar. Demikianlah kisah dibalik keunikan dan keanehan Danau tendetung. Bagi yang ingin membuktikan keunikannya secara langsung, silahkan mengunjungi Danau Tendetung yang berada di Kanali Kabupaten Banggai Kepulauan.

Wednesday 3 September 2014

Bayangan Matahari
Hitam..
Pantulan atau cerminan?
Mereka bermakna dalam,
Mereka bayangan..
Matahari harusnya berbayang
Jadi, ‘kan kuberi satu
Cukup untuk keberadaanmu
Satu yang lebih darimu
Aku tertegun membaca secarik kertas yang disematkan bersama sebuah kado ulang tahun untukku. Aku mencoba menggeser tempat dudukku mungkin agar datang sebongkah wahyu menggelayut di otakku. Maknanya? Aku sama sekali tidak tahu apa maknanya.. jujur saja, aku bodoh dalam hal sastra dan adikku ini suka sekali mengorek-ngorek kelemahanku. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Jadi?” Ara mengetukkan ujung jari telunjuknya ke atas meja perpus di depanku. Mendengar pertanyaannya, aku hanya bisa nyengir kuda. Jadi aku sedang ada di ruang interogasi atau di ruang perpus? Kenapa adikku ini suka sekali membuat sidang dadakan di sini?
“Ehehehe..” Aku tersenyum hambar, Ara melotot. Baiklah-baiklah, aku memang tidak tau sama sekali apa arti dari puisinya. “Bayangan? Memangnya kenapa dengan bayangan? Apa yang diberi satu? Bayangan? Apa aku sudah mati? Lalu apa hubungannya dengan matahari? Kenapa bukan bintang atau bulan?” aku nyerocos mengeluarkan isi pikiranku yang membuat otakku jadi tambah dangkal.
“Kakak! Kan sudah kubilang pikirkan baik-baik artinya! Percuma aku ngasih kado kakak kalau kakak nggak tau arti dari suratnya!” Ara menghentakkan kakinya dan duduk dengan muka terlipat. Sudah kuduga ini akan terjadi. Tidak masalah teriak di perpus, toh gak ada orang yang dengar, setidaknya hampir gak ada. Anak di sudut perpus melirik kami sekilas dari balik buku yang dibacanya.
Aku diam saja. Tidak tau apa yang sebaiknya kulakukan atau katakan pada adikku yang suka cemberut ini. Aku ‘kan bukan sastrawan atau sastrawati, jadi kenapa aku harus menerjemahkan puisinya? Dipajang di dinding kamar ‘kan bisa … sebagai pajangan tentunya. Diabadikan, dilestarikan, ditemurunkan, dimakan diminum.. nah, nah.. kalo mikirin soal makanan, otakku mendadak encer saja.
Aku berdiri dari bangku perpus dan menyeret Ara keluar ruangan.
“Hei, hei, penculikan! Mau kemana nih?” Ara mencoba berontak dari genggamanku tapi tentu saja tenagaku tak selemah otakku. Kami berpapasan dengan beberapa murid lain selepas keluar ruangan dan hanya ber-say hai, lalu buru-buru ke kantin sebelum adikku ini semakin gondok. Beberapa cewek kenalan menyapaku tapi coba tak kuhiraukan, bisa alasan gak denger, kan? Jadilah kami pusat perhatian karena adikku tak mau berhenti membuka mulutnya, terus bertanya pertanyaan yang sama ‘kemana’. Adik? Yah, dari tadi aku berkata bahwa dia adikku, dia memang adikku, adik angkatku. Setidaknya itu salah satu hal yang membuat kami yang notabene-nya sebaya ini jadi pusat perhatian, karena dia sebenarnya teman sekelasku.
“Yosh.. mungkin kalo mikir sambil makan akan sedikit membuka jaringan otakku yang sebenernya jenius..” aku manggut-manggut sambil memakan bakso pesananku. Ara menatapku dengan mata menghujat. Mungkin dia ingin berkata ‘otakmu gak ada benernya udah dari sono’. Tapi, aku mencoba tidak mempedulikannya. “Menurutku..” lanjutku, “Kau ingin menjadi satu bintang yang lebih besar dari matahari.. Namaku ‘kan Surya, jadi pastilah matahari dalam puisimu itu maksudnya adalah aku..” aku mencoba mereka ulang puisi Ara dalam otakku. Kenapa tidak dari kemarin aku melakukan ini? Kurasa segala hal apabila dihubungkan dengan makanan akan terasa lebih enak. Eh, mudah.
Ara menatapku tak percaya, ia berhenti makan pangsitnya. “Bener..” ia ber-applause ria layaknya sedang menonton konser drama musikal kesukaannya. Aku tersenyum hambar sambil berharap ia tidak bertanya lebih jauh lagi. “Kalau begitu nanti pulangnya aku mau dibonceng Kak Surya..” dia tersenyum dengan sangat lebar, seperti anak kecil yang diberi balon oleh ibunya. Aku meneruskan makan sambil mengangguk. Syukurlah..
Raut wajah Ara mendadak berubah. Ia mengaduk-aduk pangsit di dalam mangkoknya. “Kak..” ia memanggilku lirih, aku menoleh. “.. kalau nanti aku udah nggak ada..”
BRAAK!
Aku menggebrak meja hingga membuat murid lain di sekeliling meja kami menoleh padaku. Ara menatapku dengan kaget. Aku menatap Ara dengan kening berkerut. Habis kesabaranku jika Ara mulai mengatakan hal yang tidak wajar seperti itu. Sudah seminggu ini dia mencoba mengatakan sesuatu semacam itu dan selalu kuputus di tengah-tengah. Aku tidak suka memikirkan mengenai kematian, terlebih jika itu Ara.
Aku segera duduk kembali dan berusaha meredam emosiku. Apa sih yang sebenarnya tengah bertengger di pikiran Ara? Dia kok jadi melankolis begini? Aku mengalihkan pandangan dari Ara, mencoba menghindari tatapan emas Ara. Tatapan yang mampu membuatku luluh dalam sekejap waktu dan mengaduk-aduk emosiku. Dengan melihatnya, aku tidak tau apa yang kurasa hingga ia mampu menyihirku sejak pertama kali bertemu. Aku menyayanginya, tapi ini bukan cinta yang selayaknya pemuda. Hanya sayang dari seorang kakak kepada adiknya dan ia dengan mudah mampu menjelma jadi hal yang tak kusadari telah menempuh dimensi yang kubentengi.
Sehari setelah ayahku tiada, Ara hadir dengan kehangatan manja yang menaungi duka. Ia diasuh ibu dari tetangga yang juga meninggal ketika bersama Ayah dalam suatu insiden kecelakaan yang merenggut 5 orang nyawa. Di dalamnya. Ayahku dan kedua orangtuanya. Waktu itu kami sebaya, sama-sama berumur 7 tahun dan tak mengerti apa-apa. Tepat 10 tahun yang lalu, pada tanggal ini. Dan puncaknya 7 hari yang lalu, Ara mulai mengigau, kadang ia melamun, dan mulai berbicara tentang kematian. Aku tak bisa menjamah apa yang dipikirannya, tapi aku merasa aku berada semakin jauh darinya. Tak lagi bersama ruhnya. Hanya raganya.
Aku tak mau kehilangannya.
Aku menangis dan meraung sejadinya. Aku tak bisa mengendalikan emosiku di tengah kegelapan yang menyelimutiku. Aku tak bisa melihat apapun, aku tak bisa melihat Ara. Aku tak bisa melihat ibuku yang menangis di sampingku. Yang kudengar hanya suara. Suara tanpa rupa, gelap gulita, seakan semua yang di dunia ini hanya berisi bayangan maya yang hanya bisa kuraba.
Aku memacu motorku dengan Ara duduk tepat di belakangku. Sesuai janji, aku memboncengnya sepulang sekolah. Ada perasaan aneh menyelimutiku sejak kejadian di kantin, di kelas aku tak bisa berkonsentrasi pada pelajaran, tak juga bisa menerjemahkan perasaan yang meremas kebimbangan, membuat kegaduhan pikiran, dan merampas ketenangan. Ara memeluk pinggangku.
Aku mencoba berkonsentrasi mengemudi, menepis segala kekalutan tak beralasan yang mengejar setiap sudut nyaman.
“Kak..” Ara berbisik di telingaku. Aku menoleh sekilas padanya.
“Ya?” aku menjawab sekedarnya.
“Aku ..” ia terdengar ragu,
“Jangan mengatakan mengenai kematian..” ukh! Aku merasa dadaku nyeri ketika mengatakannya. Aku tidak suka ini, aku berada di luar zona nyamanku. Aku mulai gelisah. Ara tertawa kecil, hampir tak tertangkap indera pendengaranku.
“Aku menyayangi kakak..” ia berkata tegas, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri. “Tapi, aku juga mencintai Suryaku..”
Sebuah mini bus keluar dari jalurnya. Melaju kencang, mengarah kepada mobil di depan kami.
CKIIITT !!!
Aku meraba mataku. Ada. Tidak berkurang. Tapi kenapa aku masih tidak bisa melihat apa-apa? Dimana cahayanya? Apakah matahari telah berhenti bersinar? Aku masih terus menangis. Berharap tangisanku telah cukup menyedihkan untuk meminta Tuhan agar memberikan seberkas cahaya padaku. Aku takut terhimpit di dalam kegelapan ini, dadaku sesak.
“Sudah, Surya.. jangan menangis..” ibu mencoba menenangkanku di sela tangisannya. Tak peduli dengan suara itu, aku berusaha mencari cahayaku sendiri, aku tak bisa tenang. Tiba-tiba, bayangan seseorang berkelebat di otakku.
“Ara.. mana Ara?”
“Apa kau belum cukup membuatku bersyukur atas kehadiranmu, kini kau buat aku harus berhutang budi padamu? Kau bercanda?” aku menggenggam erat bunga yang belum kutaburkan di atas makam Ara. “Tidak cukupkah aku membuatmu seperti ini dan kau kini memberikan matamu padaku yang tidak berguna ini?” aku menangis perlahan. Aku menyesal. Menyesal mengapa waktu itu aku hanya terpaku melihat mini bus itu menabrak mobil di depanku, mengapa waktu itu aku tidak menghindari tabrakan itu, malah mengerem tanpa sadar tapi tak beranjak dari tempatku. Menatap bongkahan dari tabrakan yang dengan cepat bergerak ke arah kami, lalu merenggut mata dan Araku.
Bodohnya aku! Aku meremas kepalaku yang dibalut perban karena terluka, tapi ibu berusaha mencegahnya. “Kenapa aku tidak ikut mati waktu itu? kenapa?” aku bertanya setengah membentak kepada ibuku yang masih menangis. Ia menggeleng dan memelukku. Memeluk segala kerancuan hatiku. Aku tak bisa berhenti menangis, sama seperti ibuku aku juga tak mampu menahan gejolak kesedihanku. Aku kehilangan lagi mutiara yang kukasihi, setelah ayah, Ara, lalu siapa lagi?
Aku balas memeluk ibuku yang sesenggukan. Aku juga tahu Ara sangat berarti bagi ibuku, Ara selalu menjadi bunga segar dalam keluarga kami, tingkah manjanya memberi kehangatan pada kami dan tutur katanya mampu menarik canda tawa kami. Ia pelita kami, setelah Ayah pergi. Ia harta kami, yang seharusnya kujaga sampai mati.. bukan membiarkannya mati begini.
Srek..
Ibu melepas pelukanku dan menyerahkan sebuah kertas lusuh yang hampir tenggelam dirubung darah. Aku tersentak. Aku mengambil kertas itu.
“Ibu menemukannya di saku celanamu yang kau pakai sewaktu terjadi kecelakaan..” aku tak percaya. Ini tulisan Ara. Jadi, kapan dia menaruhnya di sana? Aku membuka dan mulai membaca tulisan itu. Tertegun. Entah untuk ke berapa aku merasa terenyuh. Apalagi ini? Ibu tersenyum padaku walau air mata terus membanjiri pipinya.
‘Kakak.. setidaknya jikalau aku tak ada, apabila bagian diriku masih tersisa, aku ingin itu menjadi milik kakak.. biarlah walau aku tiada, tapi bagian itu masih tersisa untuk bersama kakak melihat dunia. Jika kakak adalah matahari itu, akulah bintang kedua yang lebih besar dari kakak.. yang bisa memberikan bayangan pada kakak, sekalipun itu berarti aku akan lebih cepat mati karena cahayaku lebih terang, asal kakak tetap bersinar.. berharap, kakak ‘kan lebih bersinar.. aku mencintai kakak’
Cerpen Karangan: Raju (Ratna Juwita)
sumber:http://cerpenmu.com

Tuesday 2 September 2014

Burung Pun Terbang Berpasangan

Ruzan menghela nafas panjang. Tatapannya menerawang ke luar jendela bis yang membawanya pergi menuju kampung halaman. Hanya untuk mencari ketentraman dan ketenangan batinnya yang selama ini ia rasakan begitu menyesakkan dada. Sudah beberapa hari lamanya ia begitu merasakan kesempitan yang begitu kentara menguasai seluruh relung hatinya. Rasa hampa yang semakin menderanya, setelah percakapannya dengan Fatan, sahabat yang ia anggap bukan hanya sebagai seorang sahabat saja, tetapi juga sebagai…ah! Ia muak untuk mengatakannya.

“Ruzan! Aku sadar apa yang selama ini kita jalani adalah hal yang paling bodoh dan nista untuk hidup sebagai hamba yang mengaku bertuhan”ujar Fatan suatu senja. Saat itu mereka berdua tengah menikmati suasana sore dari teras kosan mereka.

Mereka sama-sama sebagai perantau, bekerja di pabrik tekstil milik seorang peranakan cina. Ruzan dari Garut, sementara Fatan dari Kalianda. Mereka sama-sama merantau ke ibukota dengan tujuan yang sama. Mengadu nasib dan berharap bisa membantu orang tua dan adik mereka yang butuh biaya untuk sekolah.

“Seharusnya kita meyadari bahwa yang kita jalani selama ini adalah kesalahan besar yang tidak seharusnya terjadi.”ujar Fatan lebih lanjut.

“Aku tahu!”seru Ruzan sembari menundukan kepalanya. Ia tak berani menatap mata Fatan. Sebenarnya ia tak ingin dan tak pernah berharap perbincangan ini bakalan terjadi.

“Aku tak ingin menjadi makhluk terkutuk layaknya kaum Luth itu.” Ujar Fatan dengan nada yang semakin tajam. Ruzan terdiam. “Dan aku ingin mengakhiri semua itu dengan…” Fatan tersenyum dengan mata yang menerawang awan gemawan yang berarak di langit selatan,”ya, aku mencoba untuk menjalin hubungan yang serius dengan adik kelasku waktu SMP dulu.”

Ruzan tak mampu menatap Fatan. Yang ia tahu hatinya semakin membuncah dengan gemuruh kekecewaan.Panas di hatinya seakan-akan menjalar dari ubun-ubun hingga ujung kakinya. Ia kesal, marah, malu, sedih, dan merasa tak berguna lagi sebagai manusia. Ia benci dengan kenyataan yang ada, semua kenyataan yang ia terima ;kenyataan fatan menyukai adik kelasnya dan mungkin tak akan lama lagi akan kawin, kenyataan bahwa ia tak akan lagi menemukan Fatan sesuai dengan apa yang ia harapkan, kenyataan bahwa ia abnormal, kenyataan bahwa ia tak bisa seperti Fatan. Uh! Kalau seandainya waktu bisa diputar dan nasib bisa ditawar, mungkin Ruzan lebih memilih untuk tidak dilahirkan di dunia saja dan tidak punya eksistensi apa-apa di dunia ini. Tapi apa gunanya berandai-andai dengan takdir? Emaknya pernah bercerita bahwa itu dilarang oleh Gusti Allah dan bisa membuat kita gila. Dan memang keyataannya ruzan hampir setengah gila dengan memikirkan hal ini. “Jangan kau salahkan takdir dan jangan kau berandai-andai dengan takdir yang masih abu-abu. Yang harus kau lakukan adalah merubah semua itu dan bertawakal kepada Gusti Allah dengan segenap usahamu yang maksimal. Yakinlah bahwa Gusti Allah akan merubah keadaan hambanya jika hamba itu sungguh-sungguh dalam pengharapannya. Karena Dia Maha Mendengar doa hamba-hambaNya.” Kata-kata berpetuah itu keluar dari mulut emaknya saat ia mengeluh dan merengek karena tidak dibelikan sepatu baru pada tahun ajaran baru sekolah. Padahal Ruzan sudah sepenuh asa untuk membahagiakan kedua orang tuanya dengan nilai-nilai rapornya yang diatas rata-rata. Ruzan berharap oarng tuanya kan senang dan terbujuk untuk membelikannya sepatu baru. Tapi apa daya, orang tuanya hanyalah buruh tani biasa yang tak pernah punya uang lebih. Tapi emak dan bapaknya selalu berpikir optimis dalam kehidupan mereka yang serba sulit. Tanpaknya nasihat emak dulu masih juga menjadi cambuk ampuh untuk membangunkan hatinya yang terlelap dalam kegelapan yang selama ini ia jalani.

“Kenapa kau terdiam seperti itu?” Tanya Fatan dan menatapnya tajam. Ruzan terperanjat dari lamunannya. “Kau tidak menerima kenyataan ini?” selidik Fatan dengan suara yang lebih tinggi. “kau tak rela aku berubah dari semua ketololan ini?”

Ruzan tersenyum sinis dan menggeleng lemah. Kemudian tertawa sumbang, “tidak! Selamat sahabatku. Kau berhak memilih jalanmu. Aku akan berusaha untuk senang mendengarnya.”

Fatan menghela nafas panjang.

Sementara Ruzan semakin merasakan gejolak di hatinya. “tapi aku tak tahu apa yang harus aku lakukan” serunya sembari membalikan tubuhnya. Ia menerawang lelangit senja yang mulai berpoles jingga.” Aku tak bisa menemukan jalanku. Aku iri kepadamu Fatan, kenapa kau bisa berubah sementara aku tidak?”

”Apa kau bilang?” serunya dengan alis tebalnya yang nyaris bertautan.”perubahan itu karena keinginan kita sendiri untuk berubah. Bukan karena dating sendiri. Camkan itu!” Ruzan terdiam. “Aku selalu mendoakanmu.” Pungkas Fatan dan masuk ke dalam kosan, sementara Ruzan menyusul dari belakang.

*****

Ruzan memperhatikan Fatan yang tengah mengepak pakaian dan barang-barangnya ke dalam koper. Yang tersisa hanyalah sebuah lemari yang kini kosong melompong. Besok Fatan akan pulang ke kampungnya demi menuruti permintaan ibunya. Fatan dijodohkan dengan anak pamannya sekaligus adik kelasnya.

“Kau yakin akan pulang besok?”

“Ya.”jawab Fatan pendek. Tangannya sibuk memasukan helai demi helai pakaiannya.

“Bukannya pemuda seusiamu masih terlalu muda untuk menikah?”

Fatan berhenti sejenak dan menatap Ruzan.”apa salahnya?”

Ruzan kembali terdiam. “Daripada aku terus berkubang dalam ketololan seperti itu. Maaf jika kau merasa tersinggung.” Ujar Fatan dengan nada tajam.

Ruzan tahu Fatan marah dengan pertanyaannya.” Ya, maafkan aku. Sepertinya aku harus bangga dengan keberuntunganmu itu.”

“Ya, aku memang beruntung bisa sadar dari kebodohanku. Tapi kau akan lebih beruntung dariku jika kau berhenti mencintaiku layaknya….”

“DIAM!!” seru Ruzan dengan tatapan penuh amarah.

Fatan terperanjat ketika dilihatnya Ruzan berlari dan berkata.” Lebih baik aku mati saja.”

*****

Ruzan menyingkapkan gorden jendela bis disampingnya. Matahari telah sepenggalah tingginya dan ia bisa merasakan kehangatan sinarnya. Sehangat ketentraman yang kini dimiliki hatinya. Sehangat rasa tenang yang menggelora di segenap rongga dadanya. Ruzan yakin, rasa bahagia itu akan begitu purna ketika ia bisa melihat wajah keriput emaknya yang selalu tersenyum ikhlas dikala ia pulang. Wajah adik-adiknya yang tersenyum sumringah melihat oleh-oleh alakadarnya yang ia bawa. Dan sapaan tulus Haji Romli, guru ngaji semasa kecil di surau dulu. Ah, Ruzan tak sabar untuk segera menjejakan kaki di kampung halamannya.

Sekali lagi Ruzan menghela nafas panjang. Benar katamu Fatan, aku akan lebih beruntung darimu jika aku menyadari bahwa selama ini jalan hidup kita salah.

Kembali berkelebat kejadian dua hari yang lalu dalam pikirannya. Tepat sebelum Fatan pulang. Ketika itu Ruzan menunggu kereta fajar utama melintas di dekat rumah kosannya. Ketika didengarnya suara itu semakin mendekat ia berlari dari kosan menuju rel dan merentangkan tangan menantang malaikat maut –yang mungkin- siap mencabut nyawanya. Ia pejamkan matanya, menunggu detik demi detik yang seakan memakan ketakutannya.

Beberapa detik setelah itu, Ruzan merasakan sebuah terjangan. Tapi ia berharap itu hanya perasaannya saja. Karena yang ia rasakan bukanlah hantaman kereta api seperti yang ia harapkan, tapi justru ia merasakan sekelebat sosok menubruknya dari samping secara tiba-tiba, hingga membuatnya berguling-guling di semak belukar yang landai.

Ruzan memicingkan kedua matanya.

“GILA!! KAU SUDAH GILA RUZAN!!” Sebuah suara yang mencoba mengalahkan suara kereta kembali mengumpulkan segenap kesadarannya.

Ruzan terengah-engah dengan peluh yang membanjiri tubuhnya. Ia baru merasakan andrenalin yang memuncak seperti saat itu. Sementara ia melihat Ftan dengan ekspresi yang sama sepertinya.

”kau gila Ruzan!”

“kenapa kau merusak rencanaku!”

Fatan tak merespon dan sibuk mengatur nafasnya yang memburu.

Jangan sekali-kali kamu menantang maut lagi Ruzan!” ujar Fatan. Sementara di tangannya terdapat kopor yang membengkak karena disesaki barang-barang.

Ruzan tersenyum hambar,” aku juga akan pulang.”

“Kapan?”

“Besok.”

“Dan kamu kan meninggalkan pekerjaanmu seperti halnya diriku?”

“Tidak. Aku hanya ingin pulang unutk sementara.”

Fatan hanya tersenyum kecil .” tapi aku berharap kamu akan berubah Ruzan.”

Entah yang keberapa kalinya Ruzan mendengar kalimat yang sama meluncur dari mulut Fatan. Yang pasti, akhir-akhir ini Fatan selalu mengucapkan kata-kata itu dan Ruzan selalu menanggapinya dengan setengah hati. Tapi tidak, sejak kejadian kemarin dia mulai menyadari kegelapan yang menyelimuti hatinya. Dan perlahan kegelapan itu mulai tersingkap juga. Awalnya Ruzan takut Fatan akan membencinya dan tidak mempedulikannya karena dia belum berubah. Tapi rupanya anggapan Ruzan salah besar. Fatan telah membuktikan bahwa dia adalah seorang sahabat yang mempunyai hati yang ikhlas. Bukan hati yang dipenuhi nafsu angkara sebagaimana hatinya. Setidaknya hal itu sudah cukup bagi Ruzan ketika Tuhan menjadikan Fatan sebagai perantara_Nya menyelamatkan nyawanya kemarin sore.

“Aku tetap sahabatmu Ruzan. Dan memang seharusnya kita hanya sebagai sahabat karib.”

Ruzan tersenyum dan menganggukan kepalanya.

******

“Prabumulih! Prabumulih!” seru sang kondektur membuyarkan lamunan dan kantuk yang mendera para penumpang. Pun dengan Ruzan. Ia tergeragap dari kantuknya dan langsung berseru. “KIRI! KIRI!”

Bus berhenti tepat di pertigaan jalan berbatu yang mengarah ke kampong ruzan. Ruzan turun dari bus dan menyampirkan tasnya di bahu sebelah kiri.

“Ojeg kang?”tawar seorang tukang ojek.

“Bade ka mana?” (mau ke mana?) tukang ojek yang lainnya menawarkan jasa.

Ruzan menampik tawarannya. Tak perlu repot-repot naik ojek untuk sampai ke rumahnya. Baginya jarak satu kilometer bukanlah jarak yang terlalu jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki. Lagi pula ia ingin merasakan suasana kampung yang sudah dua tahun ini ia tinggalkan. Ia ingin merasakan udara pagi yang menguarkan aroma jerami basah dari sawah-sawah sepanjang jalan. Dan ia paling suka mengenang masa kecilnya dengan aroma sederhana itu. Ruzan mendengar kicau burung kenari yang sedang berloncatan di dahan pohon-pohon randu. Burung-burung jantan sedang berebut betina karena saatnya kawin. Sepasang burung itu tiba-tiba melintas tepat dihadapan Ruzan. Ya allah, burung pun terbang berpasangan. Betapa jauhnya hamba dari tanda-tanda kebesaran-Mu selama ini. Sementara ia menikmati kicauan burung kenari itu hingga tak terasa sudah menjejak halaman rumah panggungnya. Senyum tulus wajah keriput emak sebentar lagi akan menyambutnya.

Cibeureum , 28 April 2014

Untuk kedua sahabatku ER dan AZZ yang telah menemukan jalan hidupnya. Tetaplah istiqomah dan menjaga ukhuwah

sumber: http://horisononline.or.id

Kategori: Cerpen Diterbitkan: Senin, 25 Agustus 2014 Ditulis oleh Husni Mubarok

Monday 1 September 2014

Sayangi Anggota Keluarga Anda Sepenuh Hati

Sayangi Anggota Keluarga Anda Sepenuh Hati

Tak terasa waktu cepat sekali berlalu, seorang anak laki-laki bernama Tiros meluluskan pendidikannya di SMA, namun sayang pada saat kelulusannya dia tidak pernah menyertakan atau mengajak ibunya. Tiros merupakan satu-satunya anak yang dimiliki oleh ibu Suti, dan anugrah dari Tuhan yang sangat berharga bagi diri ibu Suti.

Ayah Tiros meninggal dunia saat dia masih dalam kandungan, hanya Tiroslah yang menjadi tumpuan hidup ibunya sehingga dia kuat untuk menjalani hidup.

Pada suatu saat Tiros berkata pada ibunya: “ Ibu, aku malu sama teman-temanku, mereka memiliki ibu yang sempurna secara fisik dan mereka bangga terhadap ibu mereka, tapi aku bu, mengapa aku memiliki ibu yang buta. Andai saja aku tau, aku dilahirkan oleh seorang ibu yang buta maka aku lebih memilih untuk tidak dilahirkan”

Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut anaknya ibu Suti berkata: “ Nak, ibu memang buta, tetapi walaupun kau malu dengan keadaan fisik yang ibu miliki, ibu tetap sayang padamu nak.”

Tirospun menjawab: “ Bu, semua teman-temanku selalu menghinaku, bahkan tidak ada satu perempuanpun yang suka padaku karena melihat fisik ibu yang tidak sempurna. Mereka takut jika kelak menikah denganku anak kami juga akan cacat, buta seperti ibu”.

Mendengar perkataan anaknya ibu Suti begitu terpukul dan menangis, namun demikian ibu Suti tetap sayang dengan anaknya Tiros dan tak henti-hentinya ibu itu berdo’a untuk anaknya.

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, akhirnya Tiros menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Teknik. Betapa bangganya hati ibu Suti mendengar anaknya akan diwisuda dan menjadi seorang Insinyur, tak sia-sia pengorbanan ibu Suti selama ini dengan berjualan di pasar untuk menyekolahkan Tiros, tak kenal lelah bu Suti berkerja walaupun dalam keadaan matanya yang buta.

Sampailah saat yang ditunggu-tunggu, saat Tiros dan yang lainnya akan diwisuda. Teman-teman Tiros berserta orang tuanya dan keluarga berkumpul menantikan acara dimulai, tetapi ibu Suti sama sekali tidak diajak Tiros untuk menghadiri wisuda tersebut.

Akhirnya ibu Suti datang sendiri ke acara tersebut, sesampainya ditempat Tiros akan diwisuda, betapa bahagianya hati sang ibu Suti mendengar nama anaknya dipanggil kedepan dengan nilai terbaik.

Namun tidak Tiros, dia sangat malu terhadap teman-teman dan kekasihnya ketika mengetahui ibunya juga hadir di acara wisuda itu, acara yang seharusnya menurut Tiros membuatnya bahagia.

Pada saat itu, ibunya mendekati Tiros sambil meraba-raba wajah anaknya, dan kekasih Tiros bertanya pada Tiros: “ Siapa perempuan buta itu? Tiros tidak menjawab dan hanya diam membisu. Akhirnya ibu Suti berkata bahwa dia adalah ibunya Tiros, mendengar ibunya berkata demikian, Tiros akhirnya pulang sebelum acara selesai dan meninggalkan ibunya sendirian.

Setelah acara selesai akhirnya ibu Suti juga pulang kerumah tanpa anaknya Tiros. Namun siapa yang tau kapan ajal akan tiba, ketika hendak menyebrang jalan ibu Suti tertabrak dan meninggal dunia. Hanya tas kecil dan sangat lusuh yang selalu dibawa kemanapun ibu Suti saat berpergian yang tersisa.

Betapa terkejutnya Tiros ketika pihak rumah sakit mengabarkan bahwa beberapa menit yang lalu ibunya telah meninggal akibat kecelakaan. Dan petugas kepolisian memberikan tas yang dibawa ibunya pada saat menghadiri wisuda, Tiros hanya diam duduk menunggu ibunya yang masih dibersihkan dari sisa-sisa darah yang masih menempel ditubunya.

Pada saat menunggu jenazah ibunya, Tiros membuka tas kesayangan ibunya yang lusuh dan kumal itu. Disana terdapat foto ibunya ketika mengandung Tiros, pada saat Tiros masih bayi, dan betapa terkejutnya Tiros ketika membaca sepucuk surat yang begitu lusuh yang terdapat didalam tas ibunya. Tiros membaca surat tersebut, dan didalam surat itu tertulis:

“12 Oktober 1984, Anaku Tiros yang sangat kucintai, bayi mungilku yang sangat kusayangi, betapa kau sangat berharga dihati ibu nak. Walaupun kau buta dari lahir tetapi ibu sangat menyayangimu, kaulah anugrah terindah yang ibu muliki. Nak, ini adalah surat terakhir yang ibu tulis, karena besok ibu sudah tidak bisa lagi menuliskan kata-kata diatas kertas. Karena besok ibu akan mendonorkan kedua mata ibu untukmu nak, agar kelak kau dapat melihat dan menikmati indahnya dunia, anugrah yang diberikan Tuhan. Nak suatu saat jika ibu sudah tiada dan kau ingin melihat ibu, berkacalah nak, karena dimatamu ada ibu yang selalu menemanimu”.

Akhirnya tanpa terasa air mata Tiros mengalir deras tapi sudah terlambat bagi dirinya untuk membahagiakan ibunya. Tiros teringat dengan semua perbuatan yang ia lakukan terhadap ibunya, dia hanya bisa bersimpuh sambil terus menangis meraung di depan kaki ibunya yang telah terbujur kaku.

Semua telah terjadi dan kini ibunya telah pergi untuk selama-lamanya.

“Cerita ini mengajarkan betapa besar kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, tanpa pernah mengharapkan balasan. Ibu selalu dengan ikhlas memberikan apapun yang dimilikinya termasuk jiwanya sendiri“.

Semoga bermanfaat..

SENYUM

"SENYUM" itu ringan tak bersuara, tapi penuh makna..
"SENYUM" itu murah, tapi tak ternilai dengan rupiah..
"SENYUM" itu tak butuh tenaga, tapi besar motivasinya..
"SENYUM" itu hal yang mudah, tapi selalu nampak indah..
"SENYUM" itu 1 hal yang biasa, tapi bisa jadi spesial..
"SENYUM" itu ibadah yang paling mudah, tapi berpahala setara dengan sedekah..

Penuhilah hari-harimu dengan senyuman manis agar semua orang ikut tersenyum karenamu..

Arti Sebuah Kesempurnaan

Arti Sebuah Kesempurnaan

Seorang lelaki yang sangat tampan dan sempurna merasa bahwa Tuhan pasti menciptakan seorang perempuan yg sangat cantik dan sempurna pula untuk jodohnya. Karena itu ia pergi berkeliling untuk mencari jodohnya. Kemudian sampailah ia disebuah desa. Ia bertemu dengan seorang petani yang memiliki 3 anak perempuan dan semuanya sangat cantik. Lelaki tersebut menemui bapak petani dan mengatakan bahwa ia ingin mengawini salah satu anaknya tapi bingung; mana yang paling sempurna.

Sang Petani menganjurkan untuk mengencani mereka satu persatu dan si Lelaki setuju. Hari pertama ia pergi berduaan dengan anak pertama. Ketika pulang, ia berkata kepada bapak Petani, “Anak pertama bapak memiliki satu cacat kecil, yaitu jempol kaki kirinya lebih kecil dari jempol kanan.”

Hari berikutnya ia pergi dengan anak yang kedua dan ketika pulang dia berkata, “Anak kedua bapak juga punya cacat yang sebenarnya sangat kecil yaitu agak juling.”

Akhirnya pergilah ia dengan anak yang ketiga. Begitu pulang ia dengan gembira mendatangi Petani dan berkata,”inilah yang saya cari-cari. Ia benar-benar sempurna.”

Lalu menikahlah si Lelaki dgn anak ketiga Petani tersebut. Sembilan bulan kemudian si Istri melahirkan. dengan penuh kebahagian, si Lelaki menyaksikan kelahiran anak pertamanya. Ketika si anak lahir, Ia begitu kaget dan kecewa karena anaknya sangatlah jelek. Ia menemui bapak Petani dan bertanya “Kenapa bisa terjadi seperti ini Pak? Anak bapak cantik dan saya tampan, Kenapa anak saya bisa sejelek itu..?”

Petani menjawab, “Ia mempunyai satu cacat kecil yang tidak kelihatan. Waktu itu Ia sudah hamil duluan…..”
Tampilkan lebih sedikit