Ve memegang bahu saya. Membuat debur ombak pantai di hamparan sana berpindah seketika di dada.
“Panggil saya, Ve.”
Saya mengenalnya ketika cowok berkacamata minus itu diundang sekolahku sebagai pembicara dalam launching buku kumpulan puisi Komunitas Sastra SMA Satu (Kosmas). Selain Ve, yang diundang adalah Triaji, dari Komunitas Sastra Batang (KSB), sebuah komunitas pecinta sastra yang terkenal di kota ini. Sementara Ve diundang atas nama Komunitas Imaji. Komunitas yang berada di kota tetangga, Pekalongan.
Ketika duduk di kursi pembicara di depan kami, saya merasa Ve menatap saya lama sebelum bicara. Matanya, meski terhalang lensa kaca, seolah berbicara sesuatu pada saya. Yang saya suka darinya adalah, dia mau mengakui bahwa Ve tidak bisa menulis puisi.
“Yang saya tulis hanyalah “seperti” puisi,” Ve mengaku, “Saya tidak tahu bahwa saya diundang untuk membedah puisi. Syukurlah, Pak Triaji sudah mengupasnya sedemikian hebat. Yang bisa saya bicarakan di sini hanyalah, tentang sebuah dunia yang kita nikmati. Yang kita berada di dalamnya. Dunia imaji.”
Kata Ve, kami hebat. Tapi kehebatan ini akan percuma jika kami berhenti. Berhenti dalam arti belajar, atau berhenti dalam arti tak lagi berkarya.
Orasi Ve menggugah semangat. Membuat kami percaya bahwa kami memiliki kemampuan. Membuat gairah berkobar. Dan beberapa kali, sungguh, Ve menghentikan matanya pada saya. Menatap saya sembari tersenyum. Membuat getaran aneh berdesir di dada saya. Membuat saya merasa ingin lebih dekat dengannya.
Seusai acara itu saya menemui Ve, mengajaknya berbincang perihal proses kreatif. Gayanya yang tidak kaku, berbeda dengan Pak Triaji yang serupa dengan guru, membuat saya lebih enak berbincang dengannya.
Itu awal kedekatan kami. Saya dan Ve. Dan, yah …, akhirnya saya memang jatuh cinta pada Ve. Pada cowok berambut semi gondrong, berkaca mata minus tipis, dengan tinggi tak jauh beda dengan saya.
Saya mencintai Ve. Dia adalah segalanya bagi saya. Dia anugerah terindah dalam hidup saya. Dia matahari di langit hati saya. Ve dan semua yang ada padanya adalah teristimewa.
Memang Ve tidak terlalu tampan. Tidak juga terlalu kaya. Tidak terlalu cerdas. Tidak terlalu keren. Segalanya biasa-biasa saja jika semua itu menjadi ukuran. Tapi bagi saya, ada hal terpenting dari semua itu yang membuat cowok terkasih saya itu tak akan tergantikan siapa pun juga. Bahkan oleh coverboy majalah remaja sekali pun!
Ve yang terbaik bagi saya. Karena dia bisa menerima saya apa adanya. Menerima kelebihan dan kekurangan. Dan tak pernah menuntut apa pun selain meminta menjadi diri saya sendiri.
“Jangan pernah berpikir bahwa menjadi matahari itu lebih hebat. Tapi berpikirlah bahwa kita, dengan segala kekurangan dan kelebihan kita, adalah yang yang terhebat buat hidup kita,” begitu kata Ve ketika saya berkata bahwa saya tak yakin kenapa dia memilih saya sebagai kekasihnya. Saya sudah baca beberapa cerpen Ve yang dimuat di majalah remaja ibukota. Ve banyak bertutur tentang cinta. Tentang dunia remaja yang indah dan penuh gelora. Tentang hati yang merona merah muda.
“Tapi saya tak pernah punya kekasih,” begitu dia mengakui suatu ketika di tepi pantai Ujungnegoro. Kami duduk di batu cadas dinaungi rimbunan pohon perbukitan kecil di belakang. Pantai di kawasan kabupaten Batang ini memang unik. Berbeda dengan pantai di pesisir utara Jawa pada umumnya yang landai, kawasan pantai Ujungnegoro berdinding bukit.
“Masa? Cerpenis tentang cinta, pinter merayu, kan?”
“Saya tidak. Jujur, saya menulis cerpen tentang cinta karena saya selalu mengangankannya. Saya ingin punya kekasih,” Ve bangkit. “Dan bagi saya, tak mudah untuk itu. Dulu saya seorang yang introvert. Tidak seperti sekarang.”
“Dan sekarang?”
“Sekarang saya mulai membuka diri.”
“Banyak gadis cantik di Pekalongan, kan?”
Ve tersenyum menyeringai. “Tentu saja.”
“Lalu?”
“Tapi saya belum menemukan cinta untuk saya.” Dia berbalik, menatap saya. “Beberapa kali saya ditolak. Dan sekarang, saya kembali jatuh cinta. Saya takut akan kembali ditolak.”
“Kita tak pernah tahu jika belum mencoba, begitu katamu, kan?” saya mengingatkan Ve akan kalimat yang pernah diucapkannya ketika saya bilang ragu untuk mengirim karya ke media.
“Ya.”
“Lalu?”
Ve memegang bahu saya. Membuat debur ombak pantai di hamparan sana berpindah seketika di dada. Membuah tubuh saya bergetar.
“Saya jatuh cinta padamu sejak pertemuan pertama itu. Sampai sekarang. Saya ingin kamu menjadi kekasih saya, pendamping hidup saya.”
Saya diam.
“Maukah kamu, Nis?”
Tangan Ve menuruni lengan saya dan menggenggam jari-jemari. Saya tahu, saya tak bisa mengelak bahwa saya menunggu ini. Saya mengangguk. Dan membiarkan Ve membawa jemari saya ke bibirnya. Ve mengecup punggung telapak tangan seperti seorang pangeran yang memperlakukan permaisurinya.
Saat itu saya berpikir, saya akan bahagia bersama Ve. Kami memiliki banyak kesamaan. Kami seolah memang tercipta untuk selalu bersama.
Tapi seperti halnya cuaca, kita tak pernah benar-benar tahu apa yang akan terjadi kemudian. Seperti langit cerah yang bisa tiba-tiba berubah menjadi gugusan jelaga.
Hari-hari selanjutnya terenda dengan manis. Jarak Pekalongan-Batang bukan halangan bagi kami untuk merajut cinta. Berbeda dengan pacar saya dulu, Ve lebih dewasa. Tapi Ve selalu mengelak jika saya bertanya tentang usia.
“Pada saatnya nanti, Nis, saya akan memberitahumu,” itu janjinya. Saya hanya menaksir usianya sekitar duapuluh dua tahun. Namun ternyata dugaan itu salah.
Usia saya delapan belas tahun. Seorang remaja dengan segudang cita-cita dan harapan. Remaja yang ingin merengkuh mimpi. Sebentar lagi ujian tiba dan saya ingin melanjutkan kuliah. Tapi Ve tidak menginginkan itu.
“Saya akan melamarmu selepas ujian, Nis. Kita akan menikah.”
Siapa yang tidak ingin menikah dengan orang tercinta? Tapi saya masih muda. Masih ingin menikmati masa remaja dengan berjuang menggapai mimpi. Sedang Ve?
“Tahun ini usiaku duapuluh sembilan tahun. Dan saya ingin menikah sebelum usia tigapuluh.”
Saya gamang. Saya benar-benar tak tahu apa yang harus saya katakan tanpa menyakiti perasaan Ve.
“Saya masih sekolah Ve. Setelah lulus nanti pun saya masih ingin melanjutkan kuliah dan menggapai impian saya untuk bekerja,” kata saya.
“Kau boleh kuliah dan bekerja setelah menikah, Nis.”
Saya terdiam. Ve masih mendesak, namun saya meminta waktu untuk memikirkannya.
***
Lalu tercetus sebuah gagasan.
“Selama ini saya sudah memiliki pacar, Ve. Dan saya telah menduakannya karena kamu,” kata saya ditelepon. Saya tak berani mengatakannya langsung. “Jujur, saya memang tergelincir karena kamu begitu baik pada saya.”
“Kau bercanda kan, Vis?” Ve bertanya. Pegangan jemari saya pada horn telepon mengencang. Saya menggeleng meski sadar Ve tak mungkin melihat gelengan kepala saya.
“Maafkan saya, Ve. Selama ini saya ragu, namun kini saya sadar, saya tak seharusnya bermain api.”
“Saya mencintaimu, Vis.”
“Saya tahu, Ve.”
“Kamu juga mencintaiku, kan?”
“Ya.”
“Lalu kenapa?”
“Karena dia hadir sebelum kamu.”
“Siapa?” Suara Ve parau.
“Iyan. Kami sudah pacaran selama tiga tahun ini. Mungkin karena kejenuhan yang sempat menelusup hingga saya berlaku segila ini dengan membiarkan cinta kita tumbuh. Maafkan saya, Ve. Saya yakin akan ada seorang pengganti saya untukmu.”
Begitulah. Sampai beberapa bulan kemudian saya menerima undangan pernikahan Ve. Undangan yang dia bubuhi kata agar saya datang bersama kekasih saya. Bersama Iyan.
Padahal Iyan tak pernah ada. Dia hanya hidup dalam imajinasi saya. Dia hanyalah tokoh yang saya reka agar Ve membenci saya. Agar Ve mencari gadis lain yang bisa menjadi pendamping hidupnya.
Memang sakit merelakan cowok yang kita cintai menjalin hidup bersama gadis lain. Tapi begitulah hidup. Seringkali kita harus memilih meski tak ingin. Dan berpisah dari Ve, meski tidak menjadi keinginan, itu adalah pilihan saya. Karena saya masih delapanbelas tahun. Masih ingin menikmati dunia remaja.
Lewat cerita ini saya berharap semoga Ve membaca dan mengerti pilihan saya. Dan memaafkan apa yang telah saya lakukan.
No comments:
Post a Comment