“AAAAAAA!!!!!!!!!!!”
“Tuhan!!! Kenapa Kau lakukan semua ini padaku?! Apa kurang aku bersujud menyembah kepadaMu?! Apa perlu aku selamanya bersujud di sajadah suciMu?! Apa perlu aku membungkuk setiap detik untukMu? AAA!!! Tuhan!!! Kenapa Tuhan Kenapa?”
Air mataku menetes.
“Tuhan!!! Kenapa Kau lakukan semua ini padaku?! Apa kurang aku bersujud menyembah kepadaMu?! Apa perlu aku selamanya bersujud di sajadah suciMu?! Apa perlu aku membungkuk setiap detik untukMu? AAA!!! Tuhan!!! Kenapa Tuhan Kenapa?”
Air mataku menetes.
----
Sabtu. Hah… Hari yang ditunggu-tunggu oleh banyak pemuda pemudi. Malam minggu, keluar, hang out, kumpul bareng, dan melakukan segala sesuatu yang menyenangkan. Tapi malam minggu ini berbeda, aku dan kedua sahabatku, Luna dan Kiki memutuskan untuk pergi ke sebuah konser band malam nanti. Setidaknya hal itu bisa mengalihkan perhatianku pada satu hal tak terlupakan. Kepergian kekasihku yang telah 4 tahun aku sudah menjalin hubungan dengannya. Pergi selamanya. Ryan.
“Kita cari tempat di mana, Me?”, tanya Luna menarik lengan bajuku.
Aku memutar kepalaku ke kanan ke kiri berusaha mencari tempat yang kosong, namun tidak ada. “Gak tau, Lun. Keliahatan penuh banget ini.”
“Disitu aja!”
Tiba-tiba Kiki menunjuk sebuah tempat. Kosong! Akhirnya kami memutuskan untuk berdiri di situ. Tepat pukul 19.00 konser sudah dibuka. Ontime! Tak lama kemudian band utama membuka acara dengan lagu hist mereka. Suasana langsung meriah. Kami berteriak-teriak. Tidak hanya kami, tapi seluruh penonton di stadion ini berteriak sekencang-kencangnya. Sangat kencang.
“Hoi, Rez!!!”
Ada seorang lelaki yang tiba-tiba menyenggol lenganku dan menyapa, tapi “Rez”? Siapa “Rez”?
“Sorry?”, teriaku keras, mengingat suara di stadion ini sangat kencang.
Lelaki itu mendekatkan wajahnya ke telingaku dan berkata, “Kamu Rezki, kan?”
Aku kaget. Rezki? Aku melihat kedua sahabatku di samping kanan. Mereka tertawa kecil.
“Maaf, aku bukan Rezki.”
“Loh… Kamu bukan Rezki?”
Aku menggeleng.
“Kamu bukan Rezki ? Terus nama kamu siapa?”
JEDARRR!!! EAAA!! Ternyata cowok ini pengen kenalan, batinku. Kiki langsung membalikan tubuhku menghadap kearahnya. Kiki dan Luna ketawa-ketawa bodoh.
“Cowok itu ngajak kenalan?”, tanya Kiki antusias, namun tetap dihiasi tertawanya kecil.
Aku mengangguk.
“Norak banget kenalan di tempat beginian, pakai cara salah orang lagi.”, Luna tertawa.
“Dijawab gak kenalannya?”, tanyaku.
Mereka berdua mengangguk mantap.
Aku membalikkan tubuhku lagi. Namun, cowok itu tidak ada. Otomatis kepalaku celingukan mencari-cari dia. Tiba-tiba ada yang mencolek bahu kananku. Cowok itu. <!--break-->
“Nyariin ya?”, tanyanya dengan senyum jahil tersungging di paras tampannya.
Aku hanya tertawa kecil. Cowok ini lucu, tapi sedikit norak juga. Tapi noraknya lucu.
“Jo.” Lelaki itu mengulurkan tangan kanannya tegas.
Aku membalas uluran tangannya. “Bejo Suminarsih Haryanto Kusumo Negoro, panggilan Jo.”
“Ha?”, tanpa disadar mulutku menganga membentuk huruf O.
Dia tertawa. Lagi. Dan… Manis, lagi. “Bercanda. Jo, Joshua”
Aku tersenyum. “Meka.”
“Kita cari tempat di mana, Me?”, tanya Luna menarik lengan bajuku.
Aku memutar kepalaku ke kanan ke kiri berusaha mencari tempat yang kosong, namun tidak ada. “Gak tau, Lun. Keliahatan penuh banget ini.”
“Disitu aja!”
Tiba-tiba Kiki menunjuk sebuah tempat. Kosong! Akhirnya kami memutuskan untuk berdiri di situ. Tepat pukul 19.00 konser sudah dibuka. Ontime! Tak lama kemudian band utama membuka acara dengan lagu hist mereka. Suasana langsung meriah. Kami berteriak-teriak. Tidak hanya kami, tapi seluruh penonton di stadion ini berteriak sekencang-kencangnya. Sangat kencang.
“Hoi, Rez!!!”
Ada seorang lelaki yang tiba-tiba menyenggol lenganku dan menyapa, tapi “Rez”? Siapa “Rez”?
“Sorry?”, teriaku keras, mengingat suara di stadion ini sangat kencang.
Lelaki itu mendekatkan wajahnya ke telingaku dan berkata, “Kamu Rezki, kan?”
Aku kaget. Rezki? Aku melihat kedua sahabatku di samping kanan. Mereka tertawa kecil.
“Maaf, aku bukan Rezki.”
“Loh… Kamu bukan Rezki?”
Aku menggeleng.
“Kamu bukan Rezki ? Terus nama kamu siapa?”
JEDARRR!!! EAAA!! Ternyata cowok ini pengen kenalan, batinku. Kiki langsung membalikan tubuhku menghadap kearahnya. Kiki dan Luna ketawa-ketawa bodoh.
“Cowok itu ngajak kenalan?”, tanya Kiki antusias, namun tetap dihiasi tertawanya kecil.
Aku mengangguk.
“Norak banget kenalan di tempat beginian, pakai cara salah orang lagi.”, Luna tertawa.
“Dijawab gak kenalannya?”, tanyaku.
Mereka berdua mengangguk mantap.
Aku membalikkan tubuhku lagi. Namun, cowok itu tidak ada. Otomatis kepalaku celingukan mencari-cari dia. Tiba-tiba ada yang mencolek bahu kananku. Cowok itu. <!--break-->
“Nyariin ya?”, tanyanya dengan senyum jahil tersungging di paras tampannya.
Aku hanya tertawa kecil. Cowok ini lucu, tapi sedikit norak juga. Tapi noraknya lucu.
“Jo.” Lelaki itu mengulurkan tangan kanannya tegas.
Aku membalas uluran tangannya. “Bejo Suminarsih Haryanto Kusumo Negoro, panggilan Jo.”
“Ha?”, tanpa disadar mulutku menganga membentuk huruf O.
Dia tertawa. Lagi. Dan… Manis, lagi. “Bercanda. Jo, Joshua”
Aku tersenyum. “Meka.”
---
Sejak saat itu kami berdua mulai saling mengenal. Sering kami pergi berdua, ke bioskop, melihat pameran, dan lain sebagainya. Semakin lama mengenal dia, semakin aku tahu bahwa dia sangat konyol. Ya… Di gila! Tapi gilanya itu yang lucu. Satu moment yang masih aku ingat. Di café, sore hari.
“ Mbak, lemon tea saya mana?”, tanya Jo dengan wajah kecewa.
“Loh… Bukannya tadi sudah diantar, Mas?”, tanya sang pelayan bingung.
Jo menggeleng. “Belumlah, Mbak. Kalau sudah ya saya minum daritadi”
“Oh iya, Mas. Maaf maaf. Akan segera kami antar”
Sang pelayan pun langsung lari mke dapur. Dan ya, Jo semakin lepas tertawa. Dia melihatku jahil dann lalu mengeluarkan lemon teanya dari bawah meja.
“Sial! Kamu jahil Jo!” Aku tertawa.
“Biarin. Sekali-kali ngerjain pelayan fine aja kan?”
Jo tertawa. Dan aku juga. Kami berdua tertawa lepas. Dan saat pelayan lain kembali membawakan minum, Jo malah beracting seolah bingung kenapa ada minuman lagi untuknya. Sontak sang pelayan itupun bingung. Dengan wajah malu dan innocentnya sang pelayan meminta maaf dan kembali pergi. Wajahnya merah. Dia benar-benar malu. Hah… Saat-saat bersama Jo memang tidak pernah membosankan.
“Kamu gak jadian sama Jo?”
Aku menggeleng.
“Me, dia jelas suka sama kamu. Hubungan kamu sama dia aja sedekat ini”, Kiki berkata mantap.
Lagi. Aku menggeleng.
“Segala bentuk kedekatan hubungan itu gak harus selalu berujung dengan cinta. Aku nganggep Jo cuma sahabat.”
“ Mbak, lemon tea saya mana?”, tanya Jo dengan wajah kecewa.
“Loh… Bukannya tadi sudah diantar, Mas?”, tanya sang pelayan bingung.
Jo menggeleng. “Belumlah, Mbak. Kalau sudah ya saya minum daritadi”
“Oh iya, Mas. Maaf maaf. Akan segera kami antar”
Sang pelayan pun langsung lari mke dapur. Dan ya, Jo semakin lepas tertawa. Dia melihatku jahil dann lalu mengeluarkan lemon teanya dari bawah meja.
“Sial! Kamu jahil Jo!” Aku tertawa.
“Biarin. Sekali-kali ngerjain pelayan fine aja kan?”
Jo tertawa. Dan aku juga. Kami berdua tertawa lepas. Dan saat pelayan lain kembali membawakan minum, Jo malah beracting seolah bingung kenapa ada minuman lagi untuknya. Sontak sang pelayan itupun bingung. Dengan wajah malu dan innocentnya sang pelayan meminta maaf dan kembali pergi. Wajahnya merah. Dia benar-benar malu. Hah… Saat-saat bersama Jo memang tidak pernah membosankan.
“Kamu gak jadian sama Jo?”
Aku menggeleng.
“Me, dia jelas suka sama kamu. Hubungan kamu sama dia aja sedekat ini”, Kiki berkata mantap.
Lagi. Aku menggeleng.
“Segala bentuk kedekatan hubungan itu gak harus selalu berujung dengan cinta. Aku nganggep Jo cuma sahabat.”
---
Rabu. 15 Mei 2013. Hari yang sangat melelahkan bagiku. Pagi-pagi aku sudah ke sekolah sampai jam 2. Setelah itu langsung pergi les, pergi seminar, pergi tugas, dan pergi kemana-mana.
“Hah… Capek. Sampai rumah aku pengen mandi, makan, langsung tidur.”
Sesampainya di rumah aku melihat ada 3 motor terparkir di halaman. Motornya familiar dengan ingatanku. Sepertinya aku kenal siapa pemiliknya. Dengan segera aku langsung memasuki rumah. Ruang depan kosong, tidak ada siapa pun, ruang tengah juga kosong, dapur, juga. Dimana semuanya?
“Jadi Meka tidak menyukaimu?”
Ada suara dari halaman belakang. Suara mama?? Perlahan aku berjalan menuju asal suara. Tidak hanya suara mama yang aku dengar, namun ada orang lain. Perempuan dan laki-laki.
“Jo? Luna? Kiki?”, kataku lirih dibalik pintu.
Aku bingung, kenapa mereka disini. Dan bagaimana mama bisa mengenal Jo? Aku tidak pernah mengenalkan Jo kepada mama.
“Kata Meka, dia hanya menganggap Jo sebagai teman, Tan”, Luna menerangkan.
“Iya, Tan. Padahal Jo itu sudah membuat Meka tertawa terus dan mendekati dia. Bahkan Jo sering memberi perhatian lebih kepadanya.”
“Tapi, Meka sama sekali tidak menganggap itu special, Tante.”, Jo memotong pembicaraan Kiki.
“Ya Tuhan… Bagaimana lagi aku harus membuat putriku mendapatkan kebahagiannya lagi? Padahal aku sudah menyuruh seseorang untuk mendekatinya. Sedangkan dia masih saja mencintai kekasihnya yang telah tiada.”
DEG! Aku terdiam. Aku terpaku, mematung disana. Jadi ini semua rekayasa? Mama menyewa Jo untuk ini? Untuk membuatku melupakan cintaku? Ryan…
Aku bingung. Aku kecewa! Aku marah! Aku… Aku… Aku tidak menyangka mereka berbuat begini.
“Ma…” Suaraku lirih.
Sontak mereka semua melihat padaku. Mereka tercengang. Mereka bingung, mereka diam, mereka… Takut. Perlahan aku berjalan mendekati mereka. Perlahan dengan langkah lemas tak berdaya.
“Kenapa?”, tanyaku lirih. “Kenapa, Ma?”, tanyaku lagi. Lirih. “Jo? Luna? Kiki? Kalian semua ikut dalam sandiwara ini?”, tanyaku masih suara lirih. Lemas.
Mereka diam. Saling memandang dengan wajah bingung. Takut tepatnya.
“Kenapa?” “KENAPA KALIAN SEMUA LAKUIN INI?!!!!”, Aku marah.
Saat itu juga mama langsung berdiri dan menghampiriku dengan langkah berat.
“Nak… Me, mama bisa jelasin ini semua.”, kata beliau takut.
“Stop.”, kataku lirih.
Aku menutup mataku. Membukanya perlahan. Dan yang aku lihat hanya 4 orang yang aku sayangi, telah mengkhianatiku. Luna, Kiki, Jo, bahkan mamaku sendiri.
Air mataku mulai menetes. Deras, deras, dan semakin deras. Aku hanya menangis. Tidak hanya mata ini, namun juga hati ini yang menjerit keras menangis.
“Kebahagianku tidak dengan harus melupakannya, Ma. Tidak menggantikannya. Aku bisa.”
Suaraku terdengar menyakitkan. Sakit karena deruan tangisan yang tidak mau berhenti maupun beristirahat sejenak. Aku hanya menggeleng. Lagi. Aku menggeleng. Dan berlari. Berlari menjauh dari tempat ini. Berlari menjauh dari orang-orang ini. Berlari menjauh dari semua masalah ini!
“Hah… Capek. Sampai rumah aku pengen mandi, makan, langsung tidur.”
Sesampainya di rumah aku melihat ada 3 motor terparkir di halaman. Motornya familiar dengan ingatanku. Sepertinya aku kenal siapa pemiliknya. Dengan segera aku langsung memasuki rumah. Ruang depan kosong, tidak ada siapa pun, ruang tengah juga kosong, dapur, juga. Dimana semuanya?
“Jadi Meka tidak menyukaimu?”
Ada suara dari halaman belakang. Suara mama?? Perlahan aku berjalan menuju asal suara. Tidak hanya suara mama yang aku dengar, namun ada orang lain. Perempuan dan laki-laki.
“Jo? Luna? Kiki?”, kataku lirih dibalik pintu.
Aku bingung, kenapa mereka disini. Dan bagaimana mama bisa mengenal Jo? Aku tidak pernah mengenalkan Jo kepada mama.
“Kata Meka, dia hanya menganggap Jo sebagai teman, Tan”, Luna menerangkan.
“Iya, Tan. Padahal Jo itu sudah membuat Meka tertawa terus dan mendekati dia. Bahkan Jo sering memberi perhatian lebih kepadanya.”
“Tapi, Meka sama sekali tidak menganggap itu special, Tante.”, Jo memotong pembicaraan Kiki.
“Ya Tuhan… Bagaimana lagi aku harus membuat putriku mendapatkan kebahagiannya lagi? Padahal aku sudah menyuruh seseorang untuk mendekatinya. Sedangkan dia masih saja mencintai kekasihnya yang telah tiada.”
DEG! Aku terdiam. Aku terpaku, mematung disana. Jadi ini semua rekayasa? Mama menyewa Jo untuk ini? Untuk membuatku melupakan cintaku? Ryan…
Aku bingung. Aku kecewa! Aku marah! Aku… Aku… Aku tidak menyangka mereka berbuat begini.
“Ma…” Suaraku lirih.
Sontak mereka semua melihat padaku. Mereka tercengang. Mereka bingung, mereka diam, mereka… Takut. Perlahan aku berjalan mendekati mereka. Perlahan dengan langkah lemas tak berdaya.
“Kenapa?”, tanyaku lirih. “Kenapa, Ma?”, tanyaku lagi. Lirih. “Jo? Luna? Kiki? Kalian semua ikut dalam sandiwara ini?”, tanyaku masih suara lirih. Lemas.
Mereka diam. Saling memandang dengan wajah bingung. Takut tepatnya.
“Kenapa?” “KENAPA KALIAN SEMUA LAKUIN INI?!!!!”, Aku marah.
Saat itu juga mama langsung berdiri dan menghampiriku dengan langkah berat.
“Nak… Me, mama bisa jelasin ini semua.”, kata beliau takut.
“Stop.”, kataku lirih.
Aku menutup mataku. Membukanya perlahan. Dan yang aku lihat hanya 4 orang yang aku sayangi, telah mengkhianatiku. Luna, Kiki, Jo, bahkan mamaku sendiri.
Air mataku mulai menetes. Deras, deras, dan semakin deras. Aku hanya menangis. Tidak hanya mata ini, namun juga hati ini yang menjerit keras menangis.
“Kebahagianku tidak dengan harus melupakannya, Ma. Tidak menggantikannya. Aku bisa.”
Suaraku terdengar menyakitkan. Sakit karena deruan tangisan yang tidak mau berhenti maupun beristirahat sejenak. Aku hanya menggeleng. Lagi. Aku menggeleng. Dan berlari. Berlari menjauh dari tempat ini. Berlari menjauh dari orang-orang ini. Berlari menjauh dari semua masalah ini!
---
Sejak saat itu aku, menjauh. Dari Luna, Kiki, mama, bahkan Jo. Jo, hah… Dia orang yang mulai aku percaya. Hanya sebagai seorang sahabat, lebih pun hanya sebagai seorang kakak. Tapi kenapa dia mau melakukan ini? Kalau dia butuh uang, aku bersedia membayarnya seberapapun, asalkan dia tulus mau berteman denganku.
Jujur, aku tidak pernah suka dengan hal ini. Tidak! Semua ini hanya membuatku merasa sendiri.. Sepi. Kesepian ini membuatku merasa semakin terpuruk. Terkucilkan. Kesepian ini membuatku semakin mengingat Ryan. Ryan… Tawanya, senyumnya, candaannya. Ryan… Aku mengingat semua tentang dia. Saat pertama dia mengenalku. Saat pertama dia malu mengajakku berbicara. Saat pertama dia memandangku terpaku. Saat pertama dia menyatakan cinta. Saat pertama dia membuatku tertawa. Saat pertama dia menjahiliku. Saat pertama dia menggenggam erat tanganku. Saat pertama dia menghiburku. Saat pertama dia memelukku. Saat pertama dia… dia… dia…
“AAAAAAA!!!!!!!!!!!”
“Tuhan!!! Kenapa Kau lakukan semua ini padaku?! Apa kurang aku bersujud menyembah kepadaMu?! Apa perlu aku selamanya bersujud di sajadah suciMu?! Apa perlu aku membungkuk setiap detik untukMu? AAA!!! Tuhan!!! Kenapa Tuhan Kenapa?”
Air mataku menetes.
“Tuhan… Aku tahu Engkau telah mengambil cintaku dan membawanya pergi ke pelukanMu. Aku tahu… Aku mengerti... Tapi, kenapa semua terjadi secepat ini?!! Kenapa Tuhan? KENAPA??!!”
“Tuhan… Aku bisa mendapatkan kebahagianku kembali. Aku bisa Tuhan… Namun tidak dengan cara melupakannya. Kumohon Tuhan… Kumohon beritahu mereka bahwa aku bisa melakukannya…”
Aku menangis. Ya… Semakin deras. Aku terisak. Degup jantungku terasa cepat dan kencang di dada ini. Perlahan aku menutup mataku. Berusaha menenagkan diri dan menarik nafas panjang. Hingga akhirnya aku membuka mata dan yang terlihat adalah sepasang kaki. Aku mengangkat kepalaku ke atas.
“Jo?”
Jo berjongkok. Dia mengusap pipiku lembut dan menggenggam bahuku tegas dan mengangkatnya ke atas,
“Maaf Me. Maafin aku. Maaf. Gak seharunya aku melakukan ini. Seharusnya aku percaya kamu bisa mendapatkan kebahagianmu sendiri tanpa melupakan cintamu. Maaf Me.. Maaf”
Aku menggeleng. Masih bercucuran air mata. Aku memeluk Jo. Kali ini aku sangat membutuhkan pelukan hangat dari seseorang. Ya… Kami menangis. Menangis dalam pelukan. Pelukan Jo. Pelukan seorang sahabat.
Malam itu juga aku meminta maaf kepada mereka. Luna, Kiki, dan mama. Dan mereka juga lebih meminta maaf kepadaku. Perlahan aku bicara, dan perlahan juga mereka percaya bahwa aku bisa bangkit. Aku bisa bahagia. Dan aku masih bisa merasakan cinta sejati suatu saat nanti. Aku bisa. Dan aku yakin.
Aku yakin aku bisa merasakan cinta. Bukan hanya cinta dari seorang lelaki kepada wanita lemah ini. Namun cinta yang sudah selama ini aku rasakan, adalah cinta dari keluargaku, sahabatku. Cinta sahabatku yng selama ini bergelimang di sekitarku.
Aku ingat saat-saat indah itu bersama mereka. Saat Luna nginap dirumahku, tidur hingga bermandikan air liur. Saat Kiki di kejar-kejar anjing bulldog. Saat Jo ketawa-ketiwi ngerjain satpam. Saat kami bertiga merencanakan membwa “kabur” Luna. Saat kami berempat hangout bareng. Saat… Saat-saat itu yang membuatku semangat hidup. Saat itu yang membangkitkan gairahku. Saat-saat itu yang menceriakan aku. Saat-saat itu aku sadar, betapa banyak cinta yang ada disekitaku.
Cinta tak perlu dari seorang yang khusus. Tak perlu dari seorang prince charming yang datang membwa kereta kuda emas. Namun cinta dari seorang sahabat yang setia menemani kita, kapanpun, dimanapun, apapun. Sangat indah, jika kita mampu mensyukuri. Cinta seorang sahabat yang istimewa.
---
Jujur, aku tidak pernah suka dengan hal ini. Tidak! Semua ini hanya membuatku merasa sendiri.. Sepi. Kesepian ini membuatku merasa semakin terpuruk. Terkucilkan. Kesepian ini membuatku semakin mengingat Ryan. Ryan… Tawanya, senyumnya, candaannya. Ryan… Aku mengingat semua tentang dia. Saat pertama dia mengenalku. Saat pertama dia malu mengajakku berbicara. Saat pertama dia memandangku terpaku. Saat pertama dia menyatakan cinta. Saat pertama dia membuatku tertawa. Saat pertama dia menjahiliku. Saat pertama dia menggenggam erat tanganku. Saat pertama dia menghiburku. Saat pertama dia memelukku. Saat pertama dia… dia… dia…
“AAAAAAA!!!!!!!!!!!”
“Tuhan!!! Kenapa Kau lakukan semua ini padaku?! Apa kurang aku bersujud menyembah kepadaMu?! Apa perlu aku selamanya bersujud di sajadah suciMu?! Apa perlu aku membungkuk setiap detik untukMu? AAA!!! Tuhan!!! Kenapa Tuhan Kenapa?”
Air mataku menetes.
“Tuhan… Aku tahu Engkau telah mengambil cintaku dan membawanya pergi ke pelukanMu. Aku tahu… Aku mengerti... Tapi, kenapa semua terjadi secepat ini?!! Kenapa Tuhan? KENAPA??!!”
“Tuhan… Aku bisa mendapatkan kebahagianku kembali. Aku bisa Tuhan… Namun tidak dengan cara melupakannya. Kumohon Tuhan… Kumohon beritahu mereka bahwa aku bisa melakukannya…”
Aku menangis. Ya… Semakin deras. Aku terisak. Degup jantungku terasa cepat dan kencang di dada ini. Perlahan aku menutup mataku. Berusaha menenagkan diri dan menarik nafas panjang. Hingga akhirnya aku membuka mata dan yang terlihat adalah sepasang kaki. Aku mengangkat kepalaku ke atas.
“Jo?”
Jo berjongkok. Dia mengusap pipiku lembut dan menggenggam bahuku tegas dan mengangkatnya ke atas,
“Maaf Me. Maafin aku. Maaf. Gak seharunya aku melakukan ini. Seharusnya aku percaya kamu bisa mendapatkan kebahagianmu sendiri tanpa melupakan cintamu. Maaf Me.. Maaf”
Aku menggeleng. Masih bercucuran air mata. Aku memeluk Jo. Kali ini aku sangat membutuhkan pelukan hangat dari seseorang. Ya… Kami menangis. Menangis dalam pelukan. Pelukan Jo. Pelukan seorang sahabat.
Malam itu juga aku meminta maaf kepada mereka. Luna, Kiki, dan mama. Dan mereka juga lebih meminta maaf kepadaku. Perlahan aku bicara, dan perlahan juga mereka percaya bahwa aku bisa bangkit. Aku bisa bahagia. Dan aku masih bisa merasakan cinta sejati suatu saat nanti. Aku bisa. Dan aku yakin.
Aku yakin aku bisa merasakan cinta. Bukan hanya cinta dari seorang lelaki kepada wanita lemah ini. Namun cinta yang sudah selama ini aku rasakan, adalah cinta dari keluargaku, sahabatku. Cinta sahabatku yng selama ini bergelimang di sekitarku.
Aku ingat saat-saat indah itu bersama mereka. Saat Luna nginap dirumahku, tidur hingga bermandikan air liur. Saat Kiki di kejar-kejar anjing bulldog. Saat Jo ketawa-ketiwi ngerjain satpam. Saat kami bertiga merencanakan membwa “kabur” Luna. Saat kami berempat hangout bareng. Saat… Saat-saat itu yang membuatku semangat hidup. Saat itu yang membangkitkan gairahku. Saat-saat itu yang menceriakan aku. Saat-saat itu aku sadar, betapa banyak cinta yang ada disekitaku.
Cinta tak perlu dari seorang yang khusus. Tak perlu dari seorang prince charming yang datang membwa kereta kuda emas. Namun cinta dari seorang sahabat yang setia menemani kita, kapanpun, dimanapun, apapun. Sangat indah, jika kita mampu mensyukuri. Cinta seorang sahabat yang istimewa.
---
“Hoi!!”
Aku menoleh ke asal suara. “Maaf?”, tanyaku.
Aku tidak mengenal orang yang menyapaku ini.
“Kamu Gina kan?”, Tanya cowok tadi bingung.
Aku tambah bingung. “Maaf, salah orang mungkin. Aku bukan Gina.”, jawabku tersenyum.
“Loh bukan ya?”
Laki-laki itu menggaruk kepalanya kik-kuk. Dia tertawa kecil. “Kamu bukan Gina ya? Terus nama kamu siapa?” Dia tersenyum.
Aku tertawa kecil.
Segala bentuk perkenalan itu mempengaruhi kedekatan nantinya. Namun segala bentuk kedekatan, belum tentu mempengaruhi arti hubungan selanjutnya. Cinta itu lebih berkenang dari sahabat. Namun sahabat lebih berarti dari cinta. Sahabat.
Aku menoleh ke asal suara. “Maaf?”, tanyaku.
Aku tidak mengenal orang yang menyapaku ini.
“Kamu Gina kan?”, Tanya cowok tadi bingung.
Aku tambah bingung. “Maaf, salah orang mungkin. Aku bukan Gina.”, jawabku tersenyum.
“Loh bukan ya?”
Laki-laki itu menggaruk kepalanya kik-kuk. Dia tertawa kecil. “Kamu bukan Gina ya? Terus nama kamu siapa?” Dia tersenyum.
Aku tertawa kecil.
Segala bentuk perkenalan itu mempengaruhi kedekatan nantinya. Namun segala bentuk kedekatan, belum tentu mempengaruhi arti hubungan selanjutnya. Cinta itu lebih berkenang dari sahabat. Namun sahabat lebih berarti dari cinta. Sahabat.
END
No comments:
Post a Comment