Ada yang bilang padaku,“ Bersahabat dekat dengan seseorang itu membutuhkan banyak pengertian, waktu, dan rasa percaya. Dengan semakin dekatnya masa hidupku yang tidak pasti, teman-temanku adalah hartaku yang paling berharga.”
Memangnya benar ya seperti ini? Aku tidak terlalu peduli dengan ucapannya. Tapi, sepertinya aku termakan oleh omonganku sendiri. Terlalu bodoh aku berpikir waktu itu. Aku merasakan hal itu semua, ketika ku tlah banyak kehilangan temanku.
Memangnya benar ya seperti ini? Aku tidak terlalu peduli dengan ucapannya. Tapi, sepertinya aku termakan oleh omonganku sendiri. Terlalu bodoh aku berpikir waktu itu. Aku merasakan hal itu semua, ketika ku tlah banyak kehilangan temanku.
Aku tidak peduli dengan mereka, ku tak menjaga pertemananku dengan mereka, dan ku terlalu sibuk dengan duniaku. Ketika ku tahu ini semua telah terjadi, apa yang bisa ku perbuat? Aku tak punya daya apa-apa. Aku kehilangan mereka. Aku ingin memutar masa lalu. Kalau aku bisa, aku ingin me-pause masa indah itu, walaupun tidak banyak masa indahku bersama temanku. Ya, karena mungkin aku menganggap mereka orang lain, tak lebih dari itu, teman pun tidak. Maka ketika ku temukan masa laluku saat ku bercanda dengan “teman” ku, aku ingin me-pause-nya. Aku ingin menikmati bagian itu lebih lama.
Tak banyak harapan untuk memperbaiki hal ini. Karena aku juga tidak tahu, apakah teman-temanku peduli denganku? Ataukah mereka tidak peduli denganku, sama halnya aku tidak peduli dengn mereka waktu itu? Hukum kausalitas ternyata benar-benar ada.
***
Aku kini terbaring diranjang putih. Ranjang ini begitu sempit untukku, karena tak terbiasa dengan keadaan ini. Ranjang yang sebenarnya cukup menjadi terlalu kecil.
***
Aku kini terbaring diranjang putih. Ranjang ini begitu sempit untukku, karena tak terbiasa dengan keadaan ini. Ranjang yang sebenarnya cukup menjadi terlalu kecil.
Ruangan ini terlalu sesak buatku. Sulit rasanya mencari oksigen di tempat ini. Jarum suntik berulang kali ditusukkan ke lenganku. Hanya untuk mencari denyut nadi dan memasukkan selang infuse ke lenganku. Sakit. Perih. Sesak. Ganjal. Aku telah rasakan ini semua.
Sejak hari pertama, sampai sekarang enam bulan lamanya, aku tak menjumpai banyak orang. Enam bulan ini, aku hanya bertemu dengan dokter, suster, ayah, ibu, dan kakakku. Ya, hanya lima orang itu saja yang aku jumpai. Sesekali juga kerabat dari ayah atau ibu datang melihatku. Itupun tak setiap hari. Jadi, kupastikan hanya lima orang saja yang terlihat oleh mataku.
Pernah ibuku bertanya, “ Teman-temanmu apa tidak tahu keadaanmu, Han? Teman Kak Aden saja menengokmu, masa temanmu tidak?” Dan aku hanya bisa menjawab dengan hembusan napas. Aku tidak tahu harus menjawab apa.
Enam bulan setelah kecelakaan itu, satu semester pula aku tidak bertemu dengan temanku. Satu semester, terlalu lama untukku. Teman. Kata yang sering ku dengar. Tapi, asing dihatiku. Aku butuh mereka, dan aku menyadari itu. Kenapa aku sadar setelah ku tahu mereka juga tidak peduli dengan kehadiranku?
Tak terasa butiran air mata mengalir tanpa bisa ku kendalikan. “ Kenapa Raihan?” tanya ibuku. Aku pegang tangan ibuku. Kuletakkan telapak tangan ibuku di pipi kananku. Ku cium tangannya. Semakin tak terbendung air mataku. Ibu mencium keningku. “ Semua akan baik-baik saja Raihan. Kamu hanya butuh keberanian untuk meminta maaf dengan mereka.”
***
Pintu kamar diketuk dari luar. Ibuku membukakan pintu. Aku tak tahu siapa yang datang. Tapi, ibu tampak bicara dengan seseorang atau lebih tepatnya beberapa orang di luar sana, aku tidak tahu pasti berapa. Dari gerak tubuhnya, ibu tampak senang, saat dia membalikkan badan dan bilang, “ Raihan, lihat siapa yang datang?” dan ibu mempersilakan mereka masuk.
Tak terasa butiran air mata mengalir tanpa bisa ku kendalikan. “ Kenapa Raihan?” tanya ibuku. Aku pegang tangan ibuku. Kuletakkan telapak tangan ibuku di pipi kananku. Ku cium tangannya. Semakin tak terbendung air mataku. Ibu mencium keningku. “ Semua akan baik-baik saja Raihan. Kamu hanya butuh keberanian untuk meminta maaf dengan mereka.”
***
Pintu kamar diketuk dari luar. Ibuku membukakan pintu. Aku tak tahu siapa yang datang. Tapi, ibu tampak bicara dengan seseorang atau lebih tepatnya beberapa orang di luar sana, aku tidak tahu pasti berapa. Dari gerak tubuhnya, ibu tampak senang, saat dia membalikkan badan dan bilang, “ Raihan, lihat siapa yang datang?” dan ibu mempersilakan mereka masuk.
Aku tak tahu harus bagaimana saat ku lihat siapa yang datang. Aku tidak percaya dengan apa yang ku lihat. Apakah aku sedang mimpi? Atau mataku yang salah lihat? Aku tahu, bahwa saat ini aku sangat bahagia. Sangat sulit aku menggambarkan perasaan ini. Mereka menemuiku, tersenyum padaku. Aku tak menyangka akan mendapat moment ini. Tuhan, aku sangat berterimakasih padaMu.
“ Maaf ya Han, kita baru bisa jenguk kamu sekarang. Pasti kamu kesepian di sini?” Andy, ketua kelas memulai pembicaraan.
“ Gimana Han, keadaanmu sekarang?” Bara bertanya kepadaku. Ku katakan kalau aku sudah bosan, di ruangan yang serba putih ini. Aku bosan melakukan terapi untuk pemulihan tulang kakiku karena kecelakaan. Aku juga bosan melihat botol infuse yang menggantung di atas ranjangku.
“ Sebenarnya aku sudah meminta untuk dirawat di rumah saja. Tapi gak tahu kenapa, dokter belum mengijinkan aku beranjak dari ranjang pesakitan ini. Kayaknya ada yang disembunyikan dariku. Ah, tak usahlah terlalu dipikir. Nikmati aja, ya gak?”
Dan pembicaraan ini serasa hangat kurasakan. Saat aku tahu bahwa mereka juga rindu akan kehadiranku yang dingin dan acuh di kelas.
“ Apa sikap seperti itu yang membuat kalian merasa kehilanganku?” tanyaku.
“ Iya Han, soalnya kamu itu langka. Hahaha.” Kata Mita. Dan disambut tawa oleh teman-temanku yang lain. Aku larut dengan suasana ini, ternyata aku juga bisa tertawa lepas dengan mereka. Hal yang tidak pernah aku lakukan selama dua tahun aku bertemu dengan mereka.
“ Han, kita sudah hampir menerima rapor kenaikan kelas tiga. Doakan ya Han, semoga kita semua naik kelas.” Andy berkata dengan hati-hati. Mungkin takut menyinggungku. Teman yang lain diam. Akupun diam. Aku tersenyum, dan kubilang “ Oke, I wish the best for you, my friends.” Dan itu artinya aku telah benar-benar kehilangan mereka. Aku harus mengulang satu tahun lagi di kelas dua SMA.
" Han, maafkan kita ya Han. Kita gak pernah menengokmu, sekali menengok, kita ngasih kabar kayak gini.” Bara, temanku yang lain menimpali.
“ Kenapa harus kalian yang meminta maaf. Aku yang harusnya minta maaf. Tidak peduli dengan kalian. Menganggap kalian orang asing. Padahal akulah orang asing itu. Kalian harus semangat untuk kelas tiga besok.”
“ How about you, Han?” Jeane, bertanya kepadaku.
“ I will be ok. Akan aku bayar waktu kelas dua ini setahun lagi. Mungkin aku akan menyusul kalian lulus SMA, setelah kalian lulus duluan. Itu tidak sulit. Karena aku hanya mengikuti jejak kalian yang ada di depanku. Hehehe.”
“ Ada-ada saja kamu Han.” Dan seisi ruangan tertawa. Ini tawa yang kedua kali aku dengar.
Ku lihat sekelilingku. Teman-temanku masih disini. Ibuku duduk melihatku. Ibu tersenyum. Ku balas senyum ibuku. Aku juga melihat ayah dan kakakku baru datang. Kakakku yang baru kuliah dan ayah yang baru pulang kerja terlihat capek. Kasihan mereka harus seperti ini setiap hari. Ayah dan kakakku mendekatiku. Aku mencium tangan ayahku. Kakak, seperti biasa, mengusap rambutku dan menarik hidungku. Ya, agak norak memang. Mungkin itu ungkapan sayang kepadaku.
***
Abu-abu. Kenapa? Adakah yang salah? Kenapa menjadi abu-abu ruangan ini? Mereka tak terlihat jelas. Tapi di sana. Di sana ada ibuku. Aku ingin memanggilnya. Tapi aku tak sanggup melakukannya. Aku hanya melambaikan tanganku yang lemah. Tak lama ibuku datang. Semua orang panik. Dan ibuku menangis. Tak tampak jelas memang, tapi aku bisa mendengarnya. Aku hanya bisa tersenyum. Aku bahagia, di saat seperti ini, aku dapat merasakan kehadiran mereka semua. Ibu, ayah, kak Aden, teman-temanku, walau tak semua teman kelasku di sini. Aku bahagia. Sangat bahagia. Dan di saat dunia terlihat gelap, dan aku menutup mataku, aku masih mendengar mereka menangis. Maaf. Kata itu yang terlewat, terutama untuk ibu.
Ku lihat sekelilingku. Teman-temanku masih disini. Ibuku duduk melihatku. Ibu tersenyum. Ku balas senyum ibuku. Aku juga melihat ayah dan kakakku baru datang. Kakakku yang baru kuliah dan ayah yang baru pulang kerja terlihat capek. Kasihan mereka harus seperti ini setiap hari. Ayah dan kakakku mendekatiku. Aku mencium tangan ayahku. Kakak, seperti biasa, mengusap rambutku dan menarik hidungku. Ya, agak norak memang. Mungkin itu ungkapan sayang kepadaku.
***
Abu-abu. Kenapa? Adakah yang salah? Kenapa menjadi abu-abu ruangan ini? Mereka tak terlihat jelas. Tapi di sana. Di sana ada ibuku. Aku ingin memanggilnya. Tapi aku tak sanggup melakukannya. Aku hanya melambaikan tanganku yang lemah. Tak lama ibuku datang. Semua orang panik. Dan ibuku menangis. Tak tampak jelas memang, tapi aku bisa mendengarnya. Aku hanya bisa tersenyum. Aku bahagia, di saat seperti ini, aku dapat merasakan kehadiran mereka semua. Ibu, ayah, kak Aden, teman-temanku, walau tak semua teman kelasku di sini. Aku bahagia. Sangat bahagia. Dan di saat dunia terlihat gelap, dan aku menutup mataku, aku masih mendengar mereka menangis. Maaf. Kata itu yang terlewat, terutama untuk ibu.
Kartasura, 29 Mei 2013
O9:43 pm
O9:43 pm
No comments:
Post a Comment