Wednesday, 3 September 2014

Bayangan Matahari
Hitam..
Pantulan atau cerminan?
Mereka bermakna dalam,
Mereka bayangan..
Matahari harusnya berbayang
Jadi, ‘kan kuberi satu
Cukup untuk keberadaanmu
Satu yang lebih darimu
Aku tertegun membaca secarik kertas yang disematkan bersama sebuah kado ulang tahun untukku. Aku mencoba menggeser tempat dudukku mungkin agar datang sebongkah wahyu menggelayut di otakku. Maknanya? Aku sama sekali tidak tahu apa maknanya.. jujur saja, aku bodoh dalam hal sastra dan adikku ini suka sekali mengorek-ngorek kelemahanku. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Jadi?” Ara mengetukkan ujung jari telunjuknya ke atas meja perpus di depanku. Mendengar pertanyaannya, aku hanya bisa nyengir kuda. Jadi aku sedang ada di ruang interogasi atau di ruang perpus? Kenapa adikku ini suka sekali membuat sidang dadakan di sini?
“Ehehehe..” Aku tersenyum hambar, Ara melotot. Baiklah-baiklah, aku memang tidak tau sama sekali apa arti dari puisinya. “Bayangan? Memangnya kenapa dengan bayangan? Apa yang diberi satu? Bayangan? Apa aku sudah mati? Lalu apa hubungannya dengan matahari? Kenapa bukan bintang atau bulan?” aku nyerocos mengeluarkan isi pikiranku yang membuat otakku jadi tambah dangkal.
“Kakak! Kan sudah kubilang pikirkan baik-baik artinya! Percuma aku ngasih kado kakak kalau kakak nggak tau arti dari suratnya!” Ara menghentakkan kakinya dan duduk dengan muka terlipat. Sudah kuduga ini akan terjadi. Tidak masalah teriak di perpus, toh gak ada orang yang dengar, setidaknya hampir gak ada. Anak di sudut perpus melirik kami sekilas dari balik buku yang dibacanya.
Aku diam saja. Tidak tau apa yang sebaiknya kulakukan atau katakan pada adikku yang suka cemberut ini. Aku ‘kan bukan sastrawan atau sastrawati, jadi kenapa aku harus menerjemahkan puisinya? Dipajang di dinding kamar ‘kan bisa … sebagai pajangan tentunya. Diabadikan, dilestarikan, ditemurunkan, dimakan diminum.. nah, nah.. kalo mikirin soal makanan, otakku mendadak encer saja.
Aku berdiri dari bangku perpus dan menyeret Ara keluar ruangan.
“Hei, hei, penculikan! Mau kemana nih?” Ara mencoba berontak dari genggamanku tapi tentu saja tenagaku tak selemah otakku. Kami berpapasan dengan beberapa murid lain selepas keluar ruangan dan hanya ber-say hai, lalu buru-buru ke kantin sebelum adikku ini semakin gondok. Beberapa cewek kenalan menyapaku tapi coba tak kuhiraukan, bisa alasan gak denger, kan? Jadilah kami pusat perhatian karena adikku tak mau berhenti membuka mulutnya, terus bertanya pertanyaan yang sama ‘kemana’. Adik? Yah, dari tadi aku berkata bahwa dia adikku, dia memang adikku, adik angkatku. Setidaknya itu salah satu hal yang membuat kami yang notabene-nya sebaya ini jadi pusat perhatian, karena dia sebenarnya teman sekelasku.
“Yosh.. mungkin kalo mikir sambil makan akan sedikit membuka jaringan otakku yang sebenernya jenius..” aku manggut-manggut sambil memakan bakso pesananku. Ara menatapku dengan mata menghujat. Mungkin dia ingin berkata ‘otakmu gak ada benernya udah dari sono’. Tapi, aku mencoba tidak mempedulikannya. “Menurutku..” lanjutku, “Kau ingin menjadi satu bintang yang lebih besar dari matahari.. Namaku ‘kan Surya, jadi pastilah matahari dalam puisimu itu maksudnya adalah aku..” aku mencoba mereka ulang puisi Ara dalam otakku. Kenapa tidak dari kemarin aku melakukan ini? Kurasa segala hal apabila dihubungkan dengan makanan akan terasa lebih enak. Eh, mudah.
Ara menatapku tak percaya, ia berhenti makan pangsitnya. “Bener..” ia ber-applause ria layaknya sedang menonton konser drama musikal kesukaannya. Aku tersenyum hambar sambil berharap ia tidak bertanya lebih jauh lagi. “Kalau begitu nanti pulangnya aku mau dibonceng Kak Surya..” dia tersenyum dengan sangat lebar, seperti anak kecil yang diberi balon oleh ibunya. Aku meneruskan makan sambil mengangguk. Syukurlah..
Raut wajah Ara mendadak berubah. Ia mengaduk-aduk pangsit di dalam mangkoknya. “Kak..” ia memanggilku lirih, aku menoleh. “.. kalau nanti aku udah nggak ada..”
BRAAK!
Aku menggebrak meja hingga membuat murid lain di sekeliling meja kami menoleh padaku. Ara menatapku dengan kaget. Aku menatap Ara dengan kening berkerut. Habis kesabaranku jika Ara mulai mengatakan hal yang tidak wajar seperti itu. Sudah seminggu ini dia mencoba mengatakan sesuatu semacam itu dan selalu kuputus di tengah-tengah. Aku tidak suka memikirkan mengenai kematian, terlebih jika itu Ara.
Aku segera duduk kembali dan berusaha meredam emosiku. Apa sih yang sebenarnya tengah bertengger di pikiran Ara? Dia kok jadi melankolis begini? Aku mengalihkan pandangan dari Ara, mencoba menghindari tatapan emas Ara. Tatapan yang mampu membuatku luluh dalam sekejap waktu dan mengaduk-aduk emosiku. Dengan melihatnya, aku tidak tau apa yang kurasa hingga ia mampu menyihirku sejak pertama kali bertemu. Aku menyayanginya, tapi ini bukan cinta yang selayaknya pemuda. Hanya sayang dari seorang kakak kepada adiknya dan ia dengan mudah mampu menjelma jadi hal yang tak kusadari telah menempuh dimensi yang kubentengi.
Sehari setelah ayahku tiada, Ara hadir dengan kehangatan manja yang menaungi duka. Ia diasuh ibu dari tetangga yang juga meninggal ketika bersama Ayah dalam suatu insiden kecelakaan yang merenggut 5 orang nyawa. Di dalamnya. Ayahku dan kedua orangtuanya. Waktu itu kami sebaya, sama-sama berumur 7 tahun dan tak mengerti apa-apa. Tepat 10 tahun yang lalu, pada tanggal ini. Dan puncaknya 7 hari yang lalu, Ara mulai mengigau, kadang ia melamun, dan mulai berbicara tentang kematian. Aku tak bisa menjamah apa yang dipikirannya, tapi aku merasa aku berada semakin jauh darinya. Tak lagi bersama ruhnya. Hanya raganya.
Aku tak mau kehilangannya.
Aku menangis dan meraung sejadinya. Aku tak bisa mengendalikan emosiku di tengah kegelapan yang menyelimutiku. Aku tak bisa melihat apapun, aku tak bisa melihat Ara. Aku tak bisa melihat ibuku yang menangis di sampingku. Yang kudengar hanya suara. Suara tanpa rupa, gelap gulita, seakan semua yang di dunia ini hanya berisi bayangan maya yang hanya bisa kuraba.
Aku memacu motorku dengan Ara duduk tepat di belakangku. Sesuai janji, aku memboncengnya sepulang sekolah. Ada perasaan aneh menyelimutiku sejak kejadian di kantin, di kelas aku tak bisa berkonsentrasi pada pelajaran, tak juga bisa menerjemahkan perasaan yang meremas kebimbangan, membuat kegaduhan pikiran, dan merampas ketenangan. Ara memeluk pinggangku.
Aku mencoba berkonsentrasi mengemudi, menepis segala kekalutan tak beralasan yang mengejar setiap sudut nyaman.
“Kak..” Ara berbisik di telingaku. Aku menoleh sekilas padanya.
“Ya?” aku menjawab sekedarnya.
“Aku ..” ia terdengar ragu,
“Jangan mengatakan mengenai kematian..” ukh! Aku merasa dadaku nyeri ketika mengatakannya. Aku tidak suka ini, aku berada di luar zona nyamanku. Aku mulai gelisah. Ara tertawa kecil, hampir tak tertangkap indera pendengaranku.
“Aku menyayangi kakak..” ia berkata tegas, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri. “Tapi, aku juga mencintai Suryaku..”
Sebuah mini bus keluar dari jalurnya. Melaju kencang, mengarah kepada mobil di depan kami.
CKIIITT !!!
Aku meraba mataku. Ada. Tidak berkurang. Tapi kenapa aku masih tidak bisa melihat apa-apa? Dimana cahayanya? Apakah matahari telah berhenti bersinar? Aku masih terus menangis. Berharap tangisanku telah cukup menyedihkan untuk meminta Tuhan agar memberikan seberkas cahaya padaku. Aku takut terhimpit di dalam kegelapan ini, dadaku sesak.
“Sudah, Surya.. jangan menangis..” ibu mencoba menenangkanku di sela tangisannya. Tak peduli dengan suara itu, aku berusaha mencari cahayaku sendiri, aku tak bisa tenang. Tiba-tiba, bayangan seseorang berkelebat di otakku.
“Ara.. mana Ara?”
“Apa kau belum cukup membuatku bersyukur atas kehadiranmu, kini kau buat aku harus berhutang budi padamu? Kau bercanda?” aku menggenggam erat bunga yang belum kutaburkan di atas makam Ara. “Tidak cukupkah aku membuatmu seperti ini dan kau kini memberikan matamu padaku yang tidak berguna ini?” aku menangis perlahan. Aku menyesal. Menyesal mengapa waktu itu aku hanya terpaku melihat mini bus itu menabrak mobil di depanku, mengapa waktu itu aku tidak menghindari tabrakan itu, malah mengerem tanpa sadar tapi tak beranjak dari tempatku. Menatap bongkahan dari tabrakan yang dengan cepat bergerak ke arah kami, lalu merenggut mata dan Araku.
Bodohnya aku! Aku meremas kepalaku yang dibalut perban karena terluka, tapi ibu berusaha mencegahnya. “Kenapa aku tidak ikut mati waktu itu? kenapa?” aku bertanya setengah membentak kepada ibuku yang masih menangis. Ia menggeleng dan memelukku. Memeluk segala kerancuan hatiku. Aku tak bisa berhenti menangis, sama seperti ibuku aku juga tak mampu menahan gejolak kesedihanku. Aku kehilangan lagi mutiara yang kukasihi, setelah ayah, Ara, lalu siapa lagi?
Aku balas memeluk ibuku yang sesenggukan. Aku juga tahu Ara sangat berarti bagi ibuku, Ara selalu menjadi bunga segar dalam keluarga kami, tingkah manjanya memberi kehangatan pada kami dan tutur katanya mampu menarik canda tawa kami. Ia pelita kami, setelah Ayah pergi. Ia harta kami, yang seharusnya kujaga sampai mati.. bukan membiarkannya mati begini.
Srek..
Ibu melepas pelukanku dan menyerahkan sebuah kertas lusuh yang hampir tenggelam dirubung darah. Aku tersentak. Aku mengambil kertas itu.
“Ibu menemukannya di saku celanamu yang kau pakai sewaktu terjadi kecelakaan..” aku tak percaya. Ini tulisan Ara. Jadi, kapan dia menaruhnya di sana? Aku membuka dan mulai membaca tulisan itu. Tertegun. Entah untuk ke berapa aku merasa terenyuh. Apalagi ini? Ibu tersenyum padaku walau air mata terus membanjiri pipinya.
‘Kakak.. setidaknya jikalau aku tak ada, apabila bagian diriku masih tersisa, aku ingin itu menjadi milik kakak.. biarlah walau aku tiada, tapi bagian itu masih tersisa untuk bersama kakak melihat dunia. Jika kakak adalah matahari itu, akulah bintang kedua yang lebih besar dari kakak.. yang bisa memberikan bayangan pada kakak, sekalipun itu berarti aku akan lebih cepat mati karena cahayaku lebih terang, asal kakak tetap bersinar.. berharap, kakak ‘kan lebih bersinar.. aku mencintai kakak’
Cerpen Karangan: Raju (Ratna Juwita)
sumber:http://cerpenmu.com

No comments: